Selamat Datang di Blog saya. Terimakasih atas kunjungan anda. Tinggalkan Jejakmu disini kawan...

Selasa, 19 Desember 2017

Kids Jaman Now

0

Sekarang ini Blog bisa dibilang media yang mulai usang, faktanya sudah beberapa tahun ini saya jg enggan menengok blog sendiri. yang rame malah di youtube, sampai-sampai anak SD pun sudah mulai ikut-ikutan, ada positif dan negatif nya. Entahlah 20 Tahun lagi dunia ini seperti apa. politikpun sudah banyak menggunakan jasa sosmed dengan membayar pasukan nasi bungkus atau yang kita sering dengar Tim net buzzer.
Jadi teringat dulu tahun 2006 atau 2007'an hidup damai tanpa sosmed Isi Handphone hanya MP3 tapi minim informasi, beda banget sama anak jaman sekarang atau biasa disebut "Kidz Jaman Now". kalo dulu mungkin disebutnya jaman "Alay". Sekarang tuh Informasi serba cepat, malah berlomba-lomba membuat informasi baru di Youtube. mungkin karena iming-iming monetisasi dapet dollar dari youtube. sebenernya kalo yang belum paham agama malah nanti mereka "menuhankan" uang. padahal uang bukanlah segalanya. memang segalanya butuh uang tapi, nilai waktu didunia kita kalo nggak di maksimalin buat Ibadah yang akan rugi kita juga, ruginya nanti kalo udah di alam akhirat.

saya sudahi dulu postingan ini, entah saya tengok lagi kapan, orang yang bacapun mungkin enggan berkomentar... semoga aja bermanfaat bagi yang mengerti.

Kamis, 29 Agustus 2013

Bersyukur atas nikmat yang ada

0

Kalau lihat temen-temen sebaya sepertinya mereka bahagia dengan hidupnya, berkumpul bersama keluarga kecil bahagia. mempunyai anak yang lucu dan menggemaskan, Kadang saya merasa merendah diri, saya belum merasa sesukses dan semapan mereka. Menikah itu penting bagi umat Islam, saking pentingnya pernikahan, Rosulullah SAW menganggapnya sebagai separuh agama. Hadits nya yaitu “Jika seseorang telah menikah, dia telah melengkapi separuh agamanya. Hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam separuhnya lagi.” (HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim). Kemarin saya bertemu temen SMP di pangkalan ojek, dia menyapa dan mengajak saya berbicara sebentar sekaligus silaturahmi lebaran, temen saya ini sudah di karuniai istri dan anak yang lucu. Cerita punya cerita dia curhat klo dia sudah sebulan lebih menganggur, Masya Allah dalam hati saya bicara “Gimana Nafkahin keluarganya tuh?.” Lalu saya memberinya motivasi “Klo kita serius dan sungguh-sungguh Nyari Insya Allah dapet.” Padahal yang berkeluarga dan kerja kontrak bukan dia aja, masih banyak yang kerja kontrak tp sudah berkeluarga mereka tetap optimis. Sebenarnya saya ingin memberikan solusi sama dia “hidup itu klo kita berpegang pada ajaran Rosulullah SAW maka hidup akan bahagia gak kesusahan.” Klo dia ikut Ngaji  di Majlis Ta’lim banyak amalan-amalan yang bisa memberikan solusi dalam kehidupan, contohnya amalan mau cepet dapet kerja yaitu Sholat 5 waktu di awal waktu serta Qobliyah dan Ba’diyah lakukan secara continue bila perlu sholat dhuha dan tahajud, Insya Allah klo kita yakin pasti kerjaan yang nyamperin kita, belum lagi ada amalan yang lain-lain dan masih banyak lagi. Jadi dalam hidup itu harus imbang antara dunia dan akhirat, klo di fikir-fikir dari kejadian tadi saya jadi merasa bersyukur Alhamdulilah...Allah SWT sudah memberi saya banyak nikmat sehat, iman, pengetahuan Islam, dan masih banyak nikmat lainnya sehingga saya masih bisa beraktifitas. Dan Allah juga memberikan saya pekerjaan tetap tanpa ada kontrak, dan lingkungan pekerjaannya pun sangat kekeluargaan, bahagia bisa bekerjasama dengan mereka, sungguh ini nikmat yang luar biasa yang terkadang tidak terfikirkan, Saya sih sebenarnya tidak takut menikah karena udah banyak dalil-dalih di Al-Qur’an maupun Hadits yang sohih selama masih berpegang teguh sama amalan dalam menjalani hidup ya..lancar-lancar aja, toh mereka (teman kerja) belasan bahkan ada yang puluhan tahun berumah tangga mereka sanggup memberi nafkah hingga anak-anaknya kuliah padahal gajinya sama, bukankah setiap hamba sudah di jamin rizkinya sama Allah SWT?, dalam menjalani kehidupan sebenarnya sudah banyak panduannya di buku-buku bahkan ada di kitab contoh yang paling populer yaitu kitab Bulughul maram, Uquudu Lujain dll. Mau kaya atau mau di kabulkannya hajat semua ada amalannya, Jadi kenapa juga harus takut toh nikah kan niatnya untuk menyempurnakan Ibadah.

Rabu, 07 November 2012

IMAM ALI BIN ABI THALIB : PINTU ILMU YANG JAGO BERPERANG

0


“Tidak ada pedang, setajam pedang Zulfikar dan tidak ada pemuda yang setangguh Ali bin Abu Thalib”

Demikianlah slogan yang selalu didengung-dengungkan oleh kaum muslimin ketika perang Uhud yang amat dahsyat itu tengah berlangsung.
Nama lengkap beliau, Ali bin Abi Thalib bin Abdi Manaf bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah atau biasa disebut ‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب)‎. Ia lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 dan wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661 M. Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).  Ibu beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay, ibunya digelari Wanita Bani Hasyim pertama yang melahirkan seorang putera Bani Hasyim. Beliau memiliki beberapa orang saudara laki-laki; Thalib, Aqiel dan Ja’far. Mereka semua lebih tua dari beliau, masing-masing terpaut sepuluh tahun. Beliau memiliki dua orang saudara perempuan; Ummu Hani’ dan Jumanah. Keduanya adalah puteri Fathimah binti Asad, ia telah masuk Islam dan turut berhijrah. Ayah beliau bernama Abu Thalib, paman Rasulullah SAW.
Beliau memiliki kulit berwarna sawo matang, bola mata beliau besar dan berwarna kemerah-merahan, berperut besar dan berkepala botak. Berperawakan pendek dan berjanggut lebat. Dada dan kedua pundak beliau padat dan putih, beliau memiliki bulu dada dan bahu yang lebat, berwajah tampan dan memiliki gigi yang bagus, ringan langkah saat berjalan.
Ia memiliki julukan Abu Turab dari Nabi Muhammad SAW. Ceritanya, ketika Muhammad SAW mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad SAW pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, “Duduklah wahai Abu Turab, duduklah.” Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.

Kehidupan Dalam Islam

Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi SAW hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi SAW. Didikan langsung dari Nabi SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Pada saat Nabi SAW dan Abu Bakar hijrah, Ali bersedia tidur di kamar Nabi SAW untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi SAW. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi SAW yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi SAW yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Dalam Perang
Ali bin Abi Thalib di kenal sebagai jagoan bangsa Arab yang mempunyai kemahiran memainkan pedang dengan tangguh. Sementara itu, baju besi yang dimilikinya berbentuk tubuh bagian depan di kedua sisi, dan tidak ada bagian belakangnya. Ketika di tanya,”Mengapa baju besimu itu tidak dibuatkan bagian belakangnya, Hai Abu Husein?” Maka Ali bin Abu Thalib akan menjawabnya dengan mudah,”Kalau seandainya aku menghadapi musuhku dari belakang, niscaya aku akan binasa.”
Ia ikut serta bertempur dalam perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Sebelum pertempuran dimulai, keluarlah tiga orang dari Musyrikin  Quraisy menantang kaum Muslimin untuk duel satu lawan satu, mereka adalah Utbah bin Rabi’ah dan saudaranya Syaibah, serta Al-Walid bin Utbah. Maka keluarlah tiga orang Anshar untuk menghadapi mereka. Tapi ketiga Musyrikin itu menolak dan meminta dari kalangan mereka sajalah yang berhak menghadapi mereka yaitu dari kaum Muhajirin Quraisy. Maka keluarlah tiga pahlawan muhajirin yaitu Ali bin Abi Thalib, Hamzah, serta Ubaidah bin Al-Harist. Maka dengan mudah Ali membunuh Syaibah, Hamzah membunuh Utbah, dan Ubaidah dan A-Walid saling melukai sampai kemudian Ali dan Hamzah membunuh Al-Walid.
Setelah melihat ketiga jagoan mereka takluk ditangan pahlawan Islam, menjadi kalaplah pasukan Musyrikin. Kaum muslimin memperoleh kemenangan yang telak, maka korban yang berjatuhan di pihak kaum Quraisy berjumlah tujuh puluh orang. Konon sepertiga korban yang tewas dari pihak kaum Quraisy pada perang badar itu merupakan persembahan khusus dari Ali bin Abu Thalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib.
Pada perang Uhud, Ali bin Abu Thalib memperlihatkan ketangguhannya sebagai seorang pahlawan Islam yang gagah perkasa. Pada saat itu beliau tergabung dalam sayap kanan pasukan yang memegang panji setelah Mush’ab bin Umair.
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amru bin Wud Al ‘Amiri, seorang jawara yang tangguh dari kaum kafir Quraisy yang ikut serta dalam perang Khandak. Dengan angkuhnya ia menari-nari di atas kudanya sambil memainkan pedangnya dan mengejek kaum muslimin seraya berkata,”Hai kaum muslimin, manakah surga yang telah dijanjikan kepadamu bahwa orang yang gugur diantaramu akan masuk kedalamnya? Inilah dia surga yang kini berada di hadapan-mu, maka sambutlah.”
Namun nyatanya tak ada seorangpun dari kaum muslimin yang berani maju untuk menjawab tantangan yang dilontarkan Amru bin Wud , yang terkenal bengis dan kejam itu. Tak lama kemudian Ali bin Abu Thalib pun berdiri dan berkata kepada Rasulullah,” Ya Rasulullah, kalau Anda mengijinkan, maka saya akan maju untuk bertarung melawannya” Rasulullah menjawab,”Hai Ali, Bukankah dia itu Amru bin Wud, jagoan kaum Quraisy yang ganas itu?” Ali bin Abu Thalib pun menjawab,”Ya, Saya tahu dia itu adalah Amru bin Wud, akan tetapi bukankah ia juga manusia seperti kita?” Akhirnya Rasulullah mengijinkan untuk bertarung melawannya.
Selang beberapa saat kemudian, Ali bin Abu Thalib telah maju ke gelanggang pertarungan untuk bertarung melawan Amru bin Wud. Lalu Amru bertanya seraya memandang remeh kepadanya,”Siapakah kamu hai anak muda?”, “Aku adalah Ali.” Amru bin Wud bertanya lagi,”Kamu anak Abdul Manaf?”, “Bukan, Aku anak Abu Thalib.” Lalu Amru bin Wud berkata,”Kamu jangan maju ke sini hai anak saudaraku! Kamu masih kecil. Aku hanya menginginkan orang yang lebih tua darimu, karena aku pantang menumpahkan darahmu.” Ali bin Abu Thalib menjawab,”Jangan sombong dulu hai Amru! Aku akan buktikan bahwa aku dapat merobohkan-mu hanya dalam beberapa detik saja dan aku tidak segan-segan untuk menghantarkanmu ke liang kubur.”
Betapa marahnya Amru bin Wud mendengar jawaban Ali bin Abu Thalib itu. Lalu ia turun dari kuda dan dihunusnya pedang miliknya itu ke arah Ali bin Abu Thalib. Sementara itu Ali bin Abu Thalib menghadapinya dengan tameng di tangan kirinya.
Tiba-tiba Amru bin Wud melancarkan serangannya dengan pedang. Dan Ali pun menangkis serangan itu dengan menggunakan tamengnya yang terbuat dari kulit binatang sehingga pedang Amru tertancap di tameng itu. Maka secepat kilat Ali menghantamkan dengan keras pedang Zulfikar pada tengkuknya hingga ia tersungkur ke tanah dan bersimbah darah, dan kaum kafir Quraisy lainnya yang melihat itu lari tunggang langgang.
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar.  Rasulullah SAW mengutus pasukan kaum muslim di bawah pimpinan Abu Bakar As Siddiq untuk menembus benteng itu. Lalu pasukan tersebut berangkat. Dengan mengerahkan segala daya kekuatan mereka berusaha membobol benteng tersebut, namun pintu benteng tersebut sangat kokoh sehingga sukar untuk ditembusnya.
Keesokkan harinya, Rasulullah mengutus Umar bin Khattab untuk memimpin pasukan untuk menaklukkan benteng tersebut. Dengan semangat yang berkobar-kobar akhirnya terjadilah peperangan yang dahsyat antara dua pasukan bersenjata itu. Umar terus membangkitkan semangat anak buahnya agar dapat menguasai benteng khaibar, namun upaya mereka belum membuahkan hasil meskipun telah berusaha sekuat tenaga dan mereka pun pulang dengan tangan hampa.
Setelah itu Rasulullah SAW bersabda,”Esok hari aku akan berikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang dicintai Allah dan Rasulnya. Dan mudah-mudahan Allah akan membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin melalui kedua tangannya, sedangkan ia sendiri bukan termasuk seorang pengecut.” Maka para sahabat bertanya-tanya “Siapakah laki-laki yang beruntung itu?” Akhirnya setiap orang dari para sahabat itu berdoa dan memohon kepada Allah agar dialah yang di maksud oleh Rasulullah.
Dan keesokkan harinya Rasulullah ternyata menyerahkan bendera kepemimpinan itu kepada Ali bin Abu Thalib yang sedang menderita penyakit mata. Kemudian Rasulullah meludahi kedua belah matanya yang sedang sakit hingga sembuh seraya berkata,”Hai Ali, terimalah bendera perang ini dan bawalah pasukan kaum muslimin bersamamu menuju benteng Khaibar hingga Allah membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin.”
Lalu Ali bin Abu Thalib memimpin pasukan dan memusatkan pasukannya pada sebuah batu karang besar dekat benteng guna menghimpun kekuatan kembali. Tak lama kemudian ia memberikan komando untuk bersiap-siap menyerbu ke benteng dan akhirnya terjadilah perang yang sengit antara kaum muslimin dengan orang-orang yahudi di sana.
Ali bin Abu Thalib memainkan pedang Zulfikar-nya dengan gesit dan menghunuskan kepada musuhnya yang berani menghadang. Tidak ada musuh pun yang selamat dari kelebatan pedang yang di genggam Ali. Akan tetapi seorang yahudi tiba-tiba menghantamkan pedang kearahnya dengan keras. Secepat kilat di tangkis serangan itu dengan tamengnya, hingga terjatuh tamengnya itu. Akhirnya ia raih sebuah pintu besar yang terbuat dari besi yang berada di sekitar benteng dan dijadikan-nya sebagai tameng dari serangan pedang orang-orang yahudi lainnya. Dan ia tetap menggunakan pintu besar itu hingga perang usai dan kaum muslimin memperoleh kemenangan.
Abu Rofi’ seorang sahabat yang ikut perang itu menyatakan,”Aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ali bin Abu Thalib mencabut pintu besi yang  besar itu untuk dijadikan tameng-nya, Setelah tameng-nya terjatuh dari tangannya.” Kemudian setelah perang usai, ada delapan orang laki-laki, salah seorang diantaranya adalah aku sendiri, yang berusaha untuk menggotong dan menempatkan kembali pintu besi itu ke tempat semula, tetapi mereka tidak mampu untuk melakukannya karena terlalu berat.”
Pada perang Hunain, Ali bin Abi Thalib dibantu pamannya Abbas mengumpulkan kembali pasukan yang melarikan diri, dan organisasi kaum Muslimin mulai terbentuk kembali. Hal ini juga dibantu dengan sempitnya medan pertempuran, yang menguntungkan kaum Muslimin sebagai pihak bertahan. Pada saat ini, seorang pembawa bendera dari kaum Badui menantang pertarungan satu-lawan-satu. Ali menerima tantangan ini dan berhasil mengalahkannya. Pertempuran ini mendemonstrasikan keahlian Ali bin Abi Thalib dalam mengorganisir pasukan dalam keadaan terjepit.
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili Nabi Muhammad SAW untuk menjaga kota Madinah. Rasulullah SAW memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang Tabuk. Kehadiran Ali di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.

Pemikir
Ali bin Abi Thalib adalah pribadi yang sangat cerdas. Itu ditunjukkan sejak masa Rasulullah SAW.
Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, berapakah kecepatan kilat tatkala menyambar. Dengan cepat ia menjawab, ” Tidak lebih cepat dari doa seorang makhluk yang dikabulkan oleh Khaliknya.”
Dan ketika ditanya, ”Berapa jauhkah jarak antara Masyrik dengan Magrib, atau antara Timur dengan Barat?”
”Tidak lebih jauh dari jarak terbit dan tenggelamnya matahari. ”jawab Ali bin Abi Thalib.
”Kapankah nikmatnya tidur?” tanya yang lain pula.
”Tak ada nikmatnya, ”Ali langsung menjawab. ” Sebab bila kujawab sebelum tidur, bagaimana dapat merasakan nikmatnya tidur kalau belum melakukannya atau mengalaminya. Jika kujawab setelah bangun dari tidur, bagaimana akan dapat kugambarkan sesuatu yang sudah lewat? Sedangkan jika kujawab saat dalam tidur, bagaimana mungkin seseorang dalam keadaan tidur atau tidak sadar merasakan nikmat atau tidaknya sesuatu? Karena itu janganlah terlalu banyak tidur hingga berlebih-lebihan, sebab hidupmu akan pendek, meski umurmu cukup panjang. Bukankah orang yang dapat merasakan dirinya hidup adalah saat mereka dalam keadaan sadar? Sedangkan, tidur sama dengan tidak sadar. Jadi bagaimana bisa dikatakan hidup, kalau bukan orang lain yang mengatakannya?”
Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW menyuruh para sahabat membaca Al-Quran sampai khatam (tamat). Semua dengan tekun mengerjakannya, hingga beberapa lama. Tapi anehnya Ali bin Abi Thalib cuma komat-kamit sebentar lalu berhenti dan diam.
Ketika semuanya sudah selesai, Nabi SAW bertanya kepada Ali bin Abi Thalib.
”Kenapa engkau tidak membaca sampai khatam?”
”Sudah sejak tadi, ya Rasulullah, ”jawab Ali.
”Cepat sekali? Rasanya mustahil, ”Sanggah Nabi SAW.
”Bukankah engkau pernah mengatakan, bahwa kandungaan surat Al-Ikhlas atau Kulhu itu sama dengan sepertiga isi Al-Quran?”jawab Ali.
”Benar, ”timpal Rasulullah SAW.
”Karena itu cukup membaca surat Al-Ikhlas tiga kali, itu sama dengan mengkhatamkan Al-Quran, ”Sambung Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW pun tersenyum mendengar jawaban Ali bin Abi Thalib.
Setelah Rasulullah SAW wafat, perubahan drastis ditunjukkan Ali. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah SAW, “jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya”. Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Dengan kecerdasannya, Ali banyak membantu para khalifah pendahulunya.
Diriwayatkan bahwa seorang utusan datang dari negeri Roma ke Madinah pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Di antara mereka terdapat seorang pastor Nasrani. Pastor itu datang ke masjid Rasulullah Saw sambil membawa kantong yang berisi emas dan perak. Di dalam masjid itu dijumpai ada Khalifah Abu Bakar dan beberapa sahabat dari Anshar dan Muhajirin. Pastor itu masuk dan mengucapkan salam serta melihat dengan seksama wajah para sahabat. Lalu dia berkata, “Mana di antara kalian yang menjadi khalifah Rasulullah dan penjaga agama kalian ?” Lalu ditunjuklah Khalifah Abu Bakar. Lalu Pastor itu mendekati Khalifah Abu Bakar dan berkata, “Wahai tuan, siapa namamu?” Khalifah Abu Bakar menjawab, “Atiq. ” Pastor bertanya, “Kemudian apa lagi ?” Khalifah Abu Bakar menjawab, “Shiddiq.” Pastor bertanya, “Kemudian apa lagi ?” Khalifah Abu Bakar menjawab, “Aku tidak mengetahui nama selain itu. ” Pastor berkata, “Anda bukan yang aku tuju.” Khalifah Abu Bakar bertanya, “Apa keperluanmu ?” Pastor menjawab, “Aku dari negeri Roma. Aku datang membawa kantung berisi emas dan perak. Aku ingin bertanya kepada penjaga umat ini tentang beberapa masalah. Jika dia dapat menjawab maka aku akan masuk Islam dan mentaati perintahnya. Dan ini hartaku di hadapan kalian aku berikan. tetapi jika dia tidak mampu menjawabnya maka aku akan kembali dan tidak akan masuk Islam. ” Khalifah Abu Bakar berkata, “Bertanyalah sesukamu. ” Pastor berkata, “Demi Allah. Aku tidak akan berbicara sebelum Anda memberiku keamanan dari kemarahanmu dan kemarahan teman-temanmu.” Khalifah Abu Bakar berkata, “Kamu aman dan tidak apa-apa. Katakanlah apa yang kamu ingin-kan !” Pastor berkata, “Beritahukan kepadaku ten­ tang sesuatu yang tidak Allah miliki, sesuatu yang tidak ada pada Allah dan sesuatu yang tidak diketahui Allah. ” Khalifah Abu Bakar gemetar dan tidak mampu menjawab. Kemudian pastor itu bangun hendak ke luar. Sebelum pastor itu berlalu, Khalifah Abu Bakar berkata, “Wahai musuh Allah, sekiranya tidak ada janji tadi, niscaya aku basahi tanah ini dengan darahmu.” Kemudian Salman al-Farisi bangun dan pergi menjumpai Ali bin Abi Thalib yang tengah duduk bersama al-Hasan dan al-Husain di tengah rumah. Salman menceritakan kejadian yang baru saja terjadi kepada Ali. Lalu Ali bin Abi Thalib bangun dan pergi ber­ sama al-Hasan dan al-Husain sehingga sampai di masjid. Ketika orang-orang melihat Ali mereka bertakbir dan bertahmid. Mereka segera mendekati Ali. Lalu Ali masuk dan duduk. Kemudian Khalifah Abu Bakar berkata, “Wahai pastor, bertanyalah kepadanya. Dialah temanmu dan yang kamu cari. ” Kemudian pastor itu menghadap Ali dan berkata, “Wahai lelaki, siapa namamu?” Ali menjawab, “Namaku dikalangan Yahudi adalah Ilyan dan dikalangan Nasrani adalah Iliya. Sedangkan menurut ayahku namaku adalah Ali dan menurut ibuku adalah Haidar. ” Pastor bertanya, “Apa hubunganmu dengan nabimu?” Ali menjawab, “Dia adalah saudaraku, mertuaku dan Putra pamanku. ” Pastor herkata, “Kamu adalah temanku demi Tuhannya Isa. Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang tidak dimiliki Allah, sesuatu yang tidak ada pada Allah dan sesuatu yang tidak diketahui Allah ?” Ali menjawab, “Kamu telah menemui seorang ahli. Yang tidak dimiliki Allah adalah bahwa Allah Mahaesa, tidak memiliki pasangan dan anak. Yang tidak ada pada Allah adalah perbuatan zhalim terhadap siapa pun (apa pun). Dan yang tidak diketahui Allah adalah Allah tidak mengetahui adanya sekutu bagiNya dalam kerajaan-Nya. ” Pastor itu bangun lalu memegang kepala Ali dan menciumi antara kedua matanya, seraya berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah dan engkau adalah pengganti dan penjaga umat ini. Engkau adalah sumber agama dan hikmah. Aku telah membaca dalam Taurat namamu adalah Ilyan, dalam Injil adalah Iliya. Aku yakin bahwa kamu adalah pewaris Nabi dan pemimpin. Kamu lebih pantas di tempat ini dari yang lain. Beritahukan kepadaku bagaimana keadaanmu clan keadaan kaummu ?” Sayyidina All menjawab pertanyaan itu
dengan sebuah penjelasan. Lalu pastor itu bangun dan menyerahkan seluruh hartanya kepada Sayyidina Ali, kemudian kembali ke kaumnya dalam keadaan Muslim.
Kemudian dikala Umar bin Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi.
Mereka berkata kepada Khalifah,”Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad SAW dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad SAW benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad SAW bukan seorang Nabi.
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.
“Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak diwaktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak,  kemudian berkata, “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata,
“Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad SAW memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar bin Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW.
Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkat,: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Silahkan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka.
Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya, “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik laki-laki ataupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kehadirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi, “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata, “Orang itu benar juga!”
Mereka bertanya lebih lanjut, “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi, “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman AS putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, ‘Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan, “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab, “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut, “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut kedepan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang.
Lalu ia berkata, “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, disebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai disitu, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya, “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan, “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Disebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Disebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai disitu pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata, “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi, lalu berkata, “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab, “Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri disebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung didalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus.
Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada bala tentara asing masuk menyerbu kedalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia berpikir, lalu berkata di dalam hati, “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum.
Teman-temannya bertanya, ‘Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?’
‘Teman-teman,’ sahut Tamlikha, ‘hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.’
Teman-temannya mengejar, ‘Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?’
‘Sudah lama aku memikirkan soal langit,’ ujar Tamlikha menjelaskan. ‘Aku lalu bertanya pada diriku sendiri,’siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini, ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri, ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata, ‘Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!’
‘Saudara-saudara,’ jawab Tamlikha, ‘baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi!’
‘Kami setuju dengan pendapatmu,’ sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya, ‘Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya,’Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?’
‘Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,’ sahut penggembala itu. ‘Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!’
‘Ah…, susahnya orang ini,’ jawab mereka. ‘Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?’ ‘Ya,’ jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata, ‘Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.’
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata, “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib, “Anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya, kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali, ‘Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT.’
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata, “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?”
Imam Ali menjelaskan, “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau disebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya, “Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri.
Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata, ‘Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!’
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya, “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.,
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya, ‘Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!’
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, ‘Siapakah diantara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.’
Tamlikha kemudian berkata, ‘Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!’
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan, ‘Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.’
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri, ‘Kusangka aku ini masih tidur!’ Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti, ‘Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?’ ‘Aphesus,’ sahut penjual roti itu.
‘Siapakah nama raja kalian?’ tanya Tamlikha lagi. ‘Abdurrahman,’ jawab penjual roti.
‘Kalau yang kau katakan itu benar,’ kata Tamlikha, ‘urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!’
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.”
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan, “Uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya, “Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha, ‘Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!’
‘Aku tidak menemukan harta karun,’ sangkal Tamlikha. ‘Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!’
Penjual roti itu marah. Lalu berkata, ‘Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?’
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berpikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, ‘Bagaimana cerita tentang orang ini?’ ‘Dia menemukan harta karun,’ jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, Raja berkata, ‘Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.’
Tamlikha menjawab, ‘Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!’
Raja bertanya sambil keheran-heranan, ‘Engkau penduduk kota ini?’ ‘Ya. Benar,’ sahut Tamlikha.
‘Adakah orang yang kau kenal?’ tanya raja lagi. ‘Ya, ada,’ jawab Tamlikha.
‘Coba sebutkan siapa namanya,’ perintah raja. Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata. ‘Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?’
‘Ya, tuanku,’ jawab Tamlikha. ‘Utuslah seorang menyertai aku!’
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, ‘Inilah rumahku!’
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang, ‘Kalian ada perlu apa?’
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut, ‘Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!’
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya, ‘Siapa namamu?’ ‘Aku Tamlikha anak Filistin!’
Tulang Belulang Ashabul Kahfi yang ditemukan Tahun 1963.
Orang tua itu lalu berkata, ‘Coba ulangi lagi!’ Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap. ‘Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang diantara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru, ‘Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!’
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya, ‘Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?’
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
“Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka, ‘Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!’
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, ‘Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!’
Tamlikha menukas, ‘Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?’
‘Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,’ jawab mereka.
‘Tidak!’ sangkal Tamlikha. ‘Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!’
Teman-teman Tamlikha menyahut, ‘Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?’
‘Lantas apa yang kalian inginkan?’ Tamlikha balik bertanya.
‘Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,’ jawab mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa, ‘Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!’
Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.
Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata, ‘Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.’
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, ‘Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.’
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab, “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul SAW.
Berikut 40 pertanyaan yang pernah dijawab Ali bin Abi Thalib:
1- Bilangan berapakah yang dapat dibagi 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9?
Imam Ali dalam keadaan menunggang kuda segera menjawab: “Kalikanlah hari-hari tahun dengan hari-hari minggu” ketika itu beliau as mengendalikan kudanya dan pergi.
Penjelasan ucapan Imam Ali as: Jika 360 (yang pada waktu itu masyhurnya adalah hari-hari tahun berjumlah 360) kita kalikan 7 (hari-hari minggu), maka hasil pengaliannya akan berjumlah 2520, yakni:
360 x 7 = 2520
Bilangan tersebut dapat dibagi 2 karena bilangan genap. Dapat dibagi 3 karena jumlah angka-angkanya akan berlipat 9 sementara bilangan 9 dapat dibagi 3, maka 2520 juga dapat dibagi 4 karena 20 yang adalah dua angka sebelah kanan bilangan dapat dibagi 4. Maka bilangan ini dapat dibagi 4 dan oleh karena bilangan ini diakhiri dengan 0 maka dapat juga dibagi 5 dan karena dapat dibagi 2 dan 3, maka dapt juga dibagi 6 dan karena bilangan tersebut adalah hasil pengkalian 360 x 7 maka dapat dibagi 7 dan karena tiga angka sebelah kanannya dapat dibagi 8, maka bilangan ini menerima pembagian angka 8 dan karena jumlah angka-angka ini adalah bilangan 9 maka dapat juga dibagi 9 dan karena diakhiri dengan 0 maka dapat dibagi 10.
2- Siapakah orang yang melihat pada malam dan siang hari?
Amirul Mukminin Ali as dalam menjawab pertanyaan “Ibnu Kawwa’” berkata: Bertanyalah tentang hal yang bermanfaat bagimu dan janganlah engkau tanyakan pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang tidak banyak berfaedah. [Dari sebagian pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada Imam Ali as ini juga menunjukkan kemazluman ilmiah dan kultural beliau as, bagaimana lautan ilmu tersebut tertimpa musibah orang-orang seperti ini yang tidak menanyakan hal-hal bersifat ilmiah, permasalahan-permasalahan serius dan menyelesaikan problema selain teka-teki dan soal-soal yang ketinggalan zaman]
Imam Ali dengan terpaksa [mungkin dengan maksud seperti ini bahwa agar mereka tidak mengatakan beliau as tidak mampu menjawab soal tersebut] berkata: Yang melihat pada malam dan siang hari adalah seorang yang beriman kepada para nabi-nabi terdahulu dan semasa dengan Nabi Islam saw serta menerima agama beliau saw [wujud nyata ucapan beliau as adalah “Sharamah bin Abi Anas”] dan yang melihat pada siang hari adalah seorang yang tidak beriman kepada para nabi terdahulu, semasa dengan Nabi Islam saw dan beriman kepada beliau saw [yang mayoritas sahabat dan kaum Muslimin permulaan Islam adalah wujud nyatanya] dan yang melihat pada malam hari dan buta pada siang hari adalah seorang beriman kepada para nabi sebelumnya akan tetapi tidak menerima agama Islam [yang di antara wujud nyatanya adalah Umayyah bin Shalt].
3- Putera manakah yang lebih besar dari ayahnya?
Beliau as menjawab: Ia adalah Uzair yang dihidupkan oleh Allah swt dan ia berusia 40 tahun sementara puteranya 110 tahun.
Keterangan: Ketika Uzair dengan kehendak Allah swt memejamkan mata untuk selamanya, ia berusia 40 tahun sementara puteranya ketika itu berusia 10 tahun dan setelah 100 tahun, Allah swt menghidupkannya kembali yang mana Uzair ketika itu sedikitpun tidak berbeda dari sisi jasmani dan raut muka dan berlalunya waktu tidak mempengaruhi badannya; oleh karena itu dari sisi dhahir puteranya lebih tua dan berusia 110 tahun akan tetapi sang ayahmenampakkan usia 40 tahun.
4- Berapakah ukuran diameter matahari?
Imam Ali as berkata: 900 mil dalam 900 mil.
Keterangan ucapan Imam Ali as: Jelas bahwa mil dalam Islam adalah 4000 dhira’[i](kubik). Jika ukuran dhira’ tangan normal kita bandingkan dengan inci dan kita ganti 4000 dhira’ dengan inci dan setelah itu kita rubah dengan yard dan mil (dengan istilah Eropa) maka kita akan lihat 810.000 mil Islam sama dengan ukuran yang dikatakan oleh para ahli dalam bidang orbit yaitu diameter matahari sama dengan 865.380 mil ukuran Eropa dan 1760 yard.
5- Dua bersaudara manakah yang terlahir dalam satu hari dan meninggal dunia pada hari yang sama akan tetapi usia salah satunya 50 tahun dan yang lain 150 tahun?!
Dalam menjawab pertanyaan ini Imam Ali as berkata: “Uzair dan saudaranya, Azrah” atau Aziz yang lahir pada hari yang sama dan Uzair meninggal dunia pada usia 100 sementara ketika ia kembali dihidupkan saudaranya sangat tua renta, namun ia masih berusia 50 tahun.
Catatan: Di dalam beberapa riwayat terjadi perbedaan pendapat apakah Uzair mengalami hal yang sangat menakjubkan ini pada usia 40 tahun atau pada 50 tahun? Yang tentu saja mana yang benar tidaklah penting dan yang menjadi kesepakatan umum dan ditegaskan oleh al-Quran adalah ia meninggal selama 100 tahun dan setelah itu dihidupkan kembali.
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) Telah roboh menutupi atapnya. dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri Ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, Kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman: “Sebenarnya kamu Telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan Lihatlah kepada keledai kamu (yang Telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan kami bagi manusia; dan Lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, Kemudian kami menyusunnya kembali, Kemudian kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala Telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang Telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[ii]
6- Keadilan lebih baik atau kedermawanan?
Imam Ali as dalam menjawab pertanyaan ini berkata: “Keadilan” menempatkan hal-hal pada tempatnya, sementara kedermawanan mengambilnya keluar dari arah-arahnya; keadilan adalah pengurus umum sedang kedermawanan adalah manfaat khusus., maka keadilan lebih utama di antara keduanya.
7- Manakah tempat yang tidak memiliki kiblat?
Di dalam Ka’bah.
8- Manakah tempat terbaik dan paling suci yang shalat di atas atapnya tidak dianjurkan?
Ka’bah.
9- Apakah yang lebih besar dari langit?
Tuduhan terhadap orang yang tidak berdosa.
10- Apakah yang lebih luas dari bumi?
Kebenaran.
11- Apakah yang lebih dingin dari zamharir (dingin yang luar biasa)?
Kebutuhan seorang kepada orang yang bakhil.
12- Apakah yang lebih kaya dari laut?
Perut yang qana’ah (merasa cukup dengan hal yang sedikit).
13- Apakah yang lebih keras dari batu?
Hati orang kafir.
14- Apakah yang selalu berkurang akan tetapi tidak dapat bertambah?
Umur manusia.
15- Apakah yang selalu bertambah akan tetapi tidak berkurang? 
Air laut.
16- Apakah yang selalu bertambah dan berkurang? 
Bulatan dan cahaya bulan.
17- Apakah yang dari setiap penjurunya adalah mulut?
Api.
18- Apakah yang seluruhnya adalah “kaki”?
Air.
19- Apakah yang seluruhnya adalah “mata”?
Matahari.
20- Apakah yang sama dengan buah-buahan surga?
Al-Quran (karena setiap kali kita memanfaatkannya dan menggunakannya, ia tidak akan berkurang dan selalu memberikan kenikmatan kepada manusia dan senantiasa baru dan segar)
21- Siapakah orang yang tidak mengharapkan surga Allah swt?
Orang yang tergolong dari auliya’ (wali-wali) Allah swt yang beribadah kepada Allah swt tanpa mengharap surga dan takut neraka.
22- Apakah yang seluruhnya adalah “sayap”?
Angin.
23- Apakah yang tidak memiliki ruh akan tetapi menghembuskan nafas?
Subuh
“Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing” [QS. At-Takwir (81): 18]
24- Siapakah yang di dalam shalatnya tidak rukuk dan sujud?
Seorang yang sedang mendirikan “shalat mayit”.
25- Siapakah yang mencintai “fitnah”?
Seorang yang mencintai harta benda dan anak-anaknya. (Sebagaimana diungkapkan dalam surat al-Anfal (8) ayat 28 mengenai mereka hal tersebut sebagai “fitnah atau ujian dan cobaan” dan bukan maksud artinya yang masyhur (kerusakan), dan Imam Ali as memperkenalkan orang tersebut dari kalangan wali-wali Allah swt.
26- Siapakah yang mendirikan shalat tanpa wudhu dan shalatnya sah?
Orang yang mendirikan shalat mayit.
27- Siapakah yang tidak berayah dan terlahir dengan mukjizat?
Nabi Isa as.
28- Siapakah orang yang tidak memiliki sanak keluarga sama sekali?
Nabi Adam as.
29- Pohon apakah yang pertama kali tumbuh di muka bumi?
Pohon kurma (Nabi Adam as membawa pohon kurma tersebut dari surga).
30- Apakah sumber air pertama bumi?
Sumber air kehidupan (Nabi Khidhir as meminum darinya dan memperoleh kehidupan kekal).
31- Apakah tiga hal yang tidak ada empatnya?
Talaq (karena dalam Islam seorang wanita tidak dapat ditalaq atau cerai lebih dari tiga kali secara beruntun dan setelah kali ketiga tidak dapat menikah dengan wanita tersebut kecuali wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain dan ketika ditalaq maka wanita itu dapat menikah dengan suami sebelumnya).
32- Apakah yang pada masa hidupnya minum dan matinya makan?
Tongkat nabi Musa as (ketika masih berbentuk ranting di atas pohon minum atau menyerap air dan ketika menjadi tongkat nabi Musa as melahap atau makan ular-ular para tukang sihir istana Fir’aun).
33- Apakah perbedaan kebenaran dan kebatilan?
Empat jari (ditanyakan kepada Imam Ali as, apakah arti ucapan ini? Imam Ali as menyodorkan jari-jari dan mengangkatnya kemudian meletakkannya di antara telinga dan mata, kemudian berkata: Kebatilan adalah yang engkau katakan aku telah mendengar dan kebenaran adalah yang engkau katakan aku telah melihat).
34- Bagaimanakah rasa air?
Seperti rasa kehidupan.
35- Siapakah orang berakal?
Orang yang berakal adalah yang meletakkan segala sesuatu pada tempatya…
36- Bagaimana Allah swt akan menghakimi hamba-hamba-Nya yang banyak ini?
Sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada mereka semua.
37- Kapankah yang tidak termasuk siang dan malam hari?
Satu jam sebelum matahari terbit.
38- Daratan manakah yang disinari oleh matahari hanya sekejap?
Daratan yang muncul sekejap di sungai Nil (di Mesir) dan kaum nabi Musa as melaluinya.
39- Siapakah yang memakan bangkai?
Orang yang memakan ikan dan belalang.
40- Siapakah yang memakan darah (pemakan darah)?
Orang yang memakan hati.

Sebagai khalifah

Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai’at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai’at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu’minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya.
Ia ditikam oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan 661 M. Di detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” yang artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”
Beliau sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim. Di antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.
Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.

Keluarga
Istri pertama yang dinikahi Ali adalah Fathimah binti Rasulullah SAW. Ia berkumpul dengannya setelah pulang dari peperangan Badar. Beliau memperoleh dua orang putera, al-Hasan dan al-Husain. Ada yang mengatakan putera ketiga beliau bernama Muhasin, namun meninggal dunia saat masih bayi. Beliau memperoleh dua orang puteri, yaitu Zainab al-Kubra dan Ummu Kaltsum al-Kubra yang kemudian dinikahi oleh Umar bin al-Khaththab . Ali tidak menikahi wanita lain di samping Fathimah hingga ia wafat enam bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Setelah Fathimah wafat, Ali menikahi beberapa wanita, diantara istri-istrinya ada yang wafat pada saat beliau masih hidup, ada yang beliau ceraikan dan ketika wafat beliau meninggalkan empat istri.
* Di antara istri-istri beliau.
*  Ummul Banin binti Hizam. Hizam adalah Abul Muhill bin Khalid bin Rabi’ah bin al-Wahid bin Ka’ab bin Amir bin Kilab. Dari Ummul Banin beliau memperoleh empat orang putera, al-Abbas, Ja’far, Abdullah dan Utsman. Mereka semua terbunuh bersama saudara mereka, yakni al-Husein, di padang Karbala. Tidak ada generasi penerus keturunan ini kecuali al-Abbas.
*  Laila binti Mas’ud bin Khalid bin Malik dari Bani Tamim. Dari Laila beliau memperoleh dua orang putera, Ubaidullah dan Abu Bakar. Hisyam bin al-Kalbi berkata, “Keduanya juga terbunuh di padang Karbala. Menurut al-Waqidi, Ubaidullah dibunuh oleh Mukhtar bin Abi Ubaid pada peperangan al-Madzar.
*  Asma’ binti ‘Umais al-Khats’amiyyah, darinya beliau memperoleh dua orang putera: Yahya dan Muhammad al-Ashghar. Demikian dikatakan oleh Ibnul Kalbi.
Al-Waqidi mengatakan, “Beliau memperoleh dua orang putera darinya, Yahya dan ‘Aun, adapun Muhammad al-Ashghar berasal dari ummul walad (budak wanita).”
*  Ummu Habib32 binti Rabi’ah bin Bujair bin al-Abdi bin ‘Alqamah, ia adalah ummu walad (budak wanita) dari tawanan yang ditawan oleh Khalid bin Walid dari Bani Taghlib ketika ia menyerbu wilayah ‘Ainut Tamr. Darinya beliau memperoleh seorang putera bernama Umar -yang diberi umur panjang 85 tahun- dan seorang puteri bernama Ruqayyah.
*  Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud bin Mu’attib bin Malik ats- Tsaqafi, darinya beliau memperoleh dua orang puteri, Ummul Hasan dan Ramlah al-Kubra.
*  Binti Umru’ul Qais bin Ady bin Aus bin Jabir bin Ka’ab bin Ulaim bin Kalb al-Kalbiyah. Darinya beliau memperoleh seorang puteri. Suatu ketika Ali membawanya saat ia masih kecil ke masjid, ditanyakan kepadanya, “Siapakah bibimu?” Ia menjawab, “Hugh, hugh!” Maksudnya Bani Kalb.
*  Umamah binti Abil Ash bin ar-Rabi’ bin Abdil Uzza bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay, ibunya adalah Zainab binti Rasulullah SAW, dialah yang digendong oleh Rasulullah SAW dalam shalat, saat bangkit beliau menggendongnya dan saat sujud beliau meletakkannya. Darinya Ali memperoleh seorang putera bernama Muhammad al-Ausath.
*  Khaulah binti Ja’far bin Qais bin Maslamah bin Ubaid bin Tsa’lab bin Yarbu’ bin Tsa’labah. Ia ditawan oleh Khalid bin Walid pada masa kekha-lifahan Abu Bakar ash-Shiddiq pada peperangan melawan kaum murtad. Ia berasal dari Bani Hanifah. Kemudian ia diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib. Dari Khaulah ini Ali memperoleh seorang putera bernama Muhammad al-Akbar (lebih dikenal dengan sebutan Muhammad bin al-Hanafiyah). Di antara kaum Syi’ah ada yang menganggap beliau sebagai imam yang ma’shum. Ia memang termasuk tokoh kaum muslimin, namun bukanlah ma’shum, ayahnya juga tidak ma’shum bahkan orang yang lebih utama dari ayahnya, yaitu Khulafa’ur Rasyidin sebelum beliau, juga tidak ma’shum, wallahu a’lam.
Ali bin Abi Thalib memiliki banyak anak keturunan lainnya dari sejumlah ummu walad (budak wanita). Saat wafat beliau meninggalkan empat istri dan sembilan belas budak wanita. Di antara putera puteri beliau yang tidak diketahui nama ibunya adalah: Ummu Hani’, Maimunah, Zainab ash-Shughra, Ramlah ash-Shughra, Ummu Kaltsum ash-Shughra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummul Kiram, Ummu Ja’far, Ummu Salamah, Jumanah dan Nafisah.
Ibnu Jarir berkata, “Jumlah keseluruhan anak kandung beliau adalah empat belas orang putera dan tujuh belas orang puteri.”
Al-Waqidi berkata, “Generasi penerus Ali ada lima; al-Hasan, al-Husain, Muhammad bin al-Hanafiyah, al-Abbas al-Kilabiyah dan Umar bin at-Taghlibiyah.”
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi’ah. Keturunan Ali sendiri dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah.

Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib:
"Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak boleh mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari"
"Orang yang terlalu memikirkan akibat dari sesuatu keputusan atau tindakan, sampai bila-bilapun dia tidak akan menjadi orang yang berani."
"Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat."
"Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak."
"Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak mau mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari."
"Perkataan sahabat yg jujur lebih besar harganya daripada harta benda yg diwarisi darinenek moyang."
"Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya"
"Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan."
Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya.
Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari

Penampakan di Media
Ali juga muncul di drama “Omar” dengan pemeran Ghanem Alzerla, seorang pemuda Tunisia. Juga ada beberapa gambarnya di situs-situs internet, contohnya adalah di atas dan sebagai berikut:
Tidak ada keterangan pasti tentang siapa yang telah melukisnya dan apakah gambar ini merupakan deskripsi tepat dari seorang Ali bin Abi Thalib.

Sumber : http://nessiaprincess.wordpress.com/2012/08/23/

Selasa, 30 Oktober 2012

Murottal (Merdu)

1

check
"Murottal (Merdu) Ayat-ayat pilihan"
MP3 murottal Merdu Ayat-ayat Pilihan yang Semoga bisa menjadi Pelipur hati yang gundah, Penyejuk Jiwa yang lara. Silahkan download pada link berikut:
check


Sumber : http://wilujeungs.blogspot.com/2011/12/murottal-merdu-ayat-ayat-pilihan.html



Murottal (Merdu)
NamaSurat Play Size File Download
Ahmad An-Nafees Hujaraat
1,81 Mb Mp3 check
Abu Yazid Nurdin Al Hijr 85-99
1,26 Mb Mp3 check
Al Mulk Mishary Rasyid Al'Afasy
1,73 Mb Mp3 check
Ali Abdel Shakur Az Zumar
5,02 Mb Mp3 check
Amir Al Mohalhal Al Fatihah
791 Kb Mp3 check
Amir Al Mohalhal Al Qiyaamah
3,92 Mb Mp3 check
Emad Mansary Tariq
3,27 Mb Mp3 check
Ibraheem Jibrin Al Qaria
4,56 Mb Mp3 check
Ibrahim Dardasawy Al Qamar/td>
7,19 Mb Mp3 check
Ibrahim Dardasawy Nur
27,87 Mb Mp3 check
Ibrahim Dardasawy Rahman
10,19 Mb Mp3 check
Idrees Akbar Furqan
9,19 Mb Mp3 check
Khalid Al Jileel Al Hijr
13,20 Mb Mp3 check
Khalid Al Jileel Ibrahim
16,50 Mb Mp3 check
Meqdam Al Hadary Hajj
4,52 Mb Mp3 check
Meqdam Al Hadary Ash Shu'araa
11,94 Mb Mp3 check
Muhammad Khalil Kahf
6,77 Mb Mp3 check
Sad An Numani Al Madani End of Surah Maryam
2,27 Mb Mp3 check
Uthman Alaa
1,62 Mb Mp3 check