Selamat Datang di Blog saya. Terimakasih atas kunjungan anda. Tinggalkan Jejakmu disini kawan...

Jumat, 19 Maret 2010

Rabu, 17 Maret 2010

TAKBIR CINTA ZAHRANA

0

Satu

Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari dunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orang-orang seusianya. Banyak yang memandangnya sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institute teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa Tengah: Semarang. Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya. Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita. Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria. Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan sikap tenangnya. Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu mengajaknya menikah? Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka. Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak. Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses. Ia meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya menderita batin yang cukup dalam. Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-mata prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari, semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya. Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bimbing skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo agamanya. Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang. Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai renta? Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat, "Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, atau lengkapnya Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa Jawanya bisa dibilang halus. "Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di pipinya. "Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai." "Iya Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara serak. "Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah Rana, bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan menginginkanmu." "Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti bisa saya berikan." "Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam. Kali ini yang datang melamarnya bukan orang sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji. Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom bensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus berkata bagaimana. Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak mengambil risiko dengan menerima orang amoral seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan jabatannya. Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan. Itu pendapat Lina. Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang. Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan. Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung pahalanya?" Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman. Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam, ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian tiba-tiba wajah keriput kedua orangtuanya muncul dengan sebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk? Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?" (Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan kamu menikah, Anakku?)

***
Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang, Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya
menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap berharap akan terjadi hal yang membahagiakan. Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga hatinya terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir cucu yang jadi penerus keturunan.
la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak Karman. Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. la juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bunga-bunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan ia kembali meneguhkan prinsipnya dalam menghadapi siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill, "Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap." Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing yang siap maju sidang membela mahasiswanya mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan kekuatannya. Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis bordir hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil. Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi. Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru dua orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama ini. Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah lima sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus mengakui kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua. Juga keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget. Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan seserius ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya cukup luas. Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk. Terpaksa duduk di beranda. la yakin tujuan Bu Merlin baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi hidupnya saat ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia harapkan dari calon suaminya. la mencari calon suami yang bisa dijadikan imam. Imam yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi kehidupan. Karena itulah posisinya benar-benar sulit kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini banyak membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya. Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman menyukur bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah baya, mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya Pak Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam. Tak bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yang biasanya memang cerewet yang banyak mengimbangi bicara. Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan suasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua orang ibu-ibu yang rapi berkerudung. "Tape ketan ini dibuat oleh anakku, si Zahrana ini dengan penuh cinta. Siapa yang memakannya insya Allah awet muda." Ibunya melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati hidangan seadanya. Mendengar hal itu spontan Pak Karman berkomentar dengan gaya lucu, "Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang harus mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting bidadari." Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja tidak mau ia dengar. Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto, juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan, "...dan maksud kedatangan kami adalah untuk menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk saudara kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan." Ayahnya menjawab dengan suara rentanya yang terbata-bata, "Pertama....tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami juga bahagia. Bagi ka..kami lamaran ini adalah suatu bentuk penghormatan. Dan jika bisa kami akan membalasnya dengan penghormatan yang le..lebih baik. Namun masalah jodoh hanya Allahlah yang mengatur. Putri kami sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan daripada kami berdua. Dia bisa memutuskan sendiri mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan." Masalah sudah jelas. Semua tamu melihat ke arahnya. la tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialah sekarang yang paling berkuasa di majelis itu. la berusaha untuk tenang. Setenang ketika ia membantu argument mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi, "Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad Saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan. Tergesa-gega itu datangnya dari setanl' Saya tidak mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan siapapun. Termasuk diri saya sendiri. Maka perkenankan saya untuk menjawabnya tiga hari ke depan. Saya akan langsung sampaikan kepada Pak Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak bisa menjawab sekarang." Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Pak Darmanto dan Pak Karman. Namun keduanya tidak bisa bersikap apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum tanda setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi. Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata mendengar jawaban putrinya itu. Ia sudah tahu ke mana arah perkataan putrinya itu. Menjelang Maghrib rombongan itu pamit. Zahrana langsung ke kamarnya mengatur kata yang tepat untuk disampaikan pada Pak Karman. Ia tersenyum, dengan senyum yang susah diartikan.
* * *
"Kamu masih nunggu yang bagaimana lagi, Nduk? Pak Karman memang agak tua, tapi ia berpendidikan dan kaya. Dia juga bisa tampak muda." Kata ibunya yang sudah tahu keputusannya. "Saya tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana Bu. Saya menunggu lelaki saleh yang pas di hati saya. Itu saja." Jawab Zahrana. "Lha Pak Karman itu apa masih kurang saleh. Dia sudah haji. Sudah menyempurnakan rukun Islam. Kita saja belum." Bantah ibunya. Ia merasa, memang agak susah memahamkan ibunya bahwa kesalehan tidak dilihat dari sudah haji atau belum. Tidak dilihat dari pakai baju koko atau tidak. Tidak bisa dilihat dari pakai peci putih atau peci yang lainnya. Betapa banyak penjahat di negeri ini yang bertitel haji. Setiap tahun haji justru untuk menutupi kejahatannya. Atau malah berhaji untuk melakukan kejahatan di musim haji. Ibunya tidak akan nyambung dia ajak dialog masalah itu. "Pokoknya menurutku Pak Karman masih kurang. Saya sangat tahu siapa dia, soalnya saya satu kampus dengannya. Nanti kalau ada yang cocok pasti saya menikah Bu." Begitu mendengar dari jawabannya ada perkataan "pokoknya", sang ibu langsung diam dengan raut muka sedih. Dalam hati ia istighfar jika telah melukai ibunya. Tapi ia tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah, tidak boleh asal-asalan. Harus dikuati benar syarat rukunnya. Meskipun ia tahu ia sudah jadi perawan tua yang sangat terlambat menikah, namun ia tidak mau gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya kelak. Zahrana masuk kamar dan menulis surat jawaban untuk Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya tegas dan lugas:
Kepada
Yth. Bpk. H. Sukarman, M.S.c
Di Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Bapak senantiasa sehat dan berada dalam
naungan hidayah-Nya.
To the point saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya
kepada Bapak, saya ingin menyampaikan bahwa saya
belum bisa menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak
mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mohon maklum
dan mohon maaf jika tidak berkenan.
Wassalam,
Dewi Zahrana
la lalu menge-print surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop putih. Ia akan minta bantuan seorang mahasiswanya untuk menyampaikan hal itu kepada Pak Karman besok pagi. Dan ia sudah berketetapan akan mengambil cuti satu minggu. Sebab jawaban itu pasti tidak diinginkan oleh Pak Karman. Bahkan pasti sangat mengecewakan Pak Karman. Untuk menjaga hal yang tidak baik, lebih baik ia tidak masuk kampus. Dan kembali masuk jika suasana kembali seperti sediakala. Apa yang ia rencanakan berjalan. Dan apa yang ia prediksi terjadi. Dua hari kemudian ia mendapatkan SMS dari Pak Karman:
"Suratmu sudah aku terima. Kamu pasti tahu bahwa jawabanmu sangat mengecewakan aku!"
Ia membaca jawaban itu dengan hati tidak enak.
Entah kenapa ia merasakan ada aroma jahat dalam setiap huruf-hurufnya dan susunan kalimatnya. Lalu ia mendapat SMS dari Bu Merlin:
"Hari ini saya dicacimaki Pak Karman gara-gara jawabanmu. Saya sungguh kecewa dengan kamu!"
Airmatanya meleleh. "Maafkan aku Bu Merlin," lirihnya dengan hati perih. Ia merasakan dunia ini begitu sempit. Dinding-dinding kamarnya seakan hendak menggenjetnya. Atap kamarnya seakan mau rubuh menimpanya. Ia hanya bias pasrah kepada-Nya dan memohon kekuatan untuk tetap kuat dan tegar di jalan-Nya.
* * *
Dua

Firasatnya benar. Lima hari setelah ia mengirim jawaban itu, Bu Merlin datang ke rumahnya. Saat itu ia masih mengambil cuti. Bu Merlin datang dengan mimic serius. Mimik yang ditakuti oleh para bawahannya, apalagi para mahasiswa. Pembantu Dekan I di kampusnya itu berkata, "Zahrana, kamu memang bebas menentukan pilihanmu. Namun terus terang saya tidak mengerti apa maumu. Saya tak perlu berdusta padamu, saya sangat kecewa padamu. Padahal saya telah berusaha melakukan yang terbaik, untukmu dan juga untuk Pak Karman. Namun agaknya ini semua berantakan karena keangkuhanmu." "Bu tolong ibu juga mengerti saya. Saya telah berusaha menata hati dan jiwa untuk menerima Pak Karman. Saya tidak mau karena saya sudah terlambat menikah, lantas saya menikah untuk seolah-olah bahagia. Saya tidak mau batin saya justru menderita. Karena saya benar-benar tidak bisa menerima Pak Karman. Saya tidak mau, setelah menikah sosok Pak Karman justru jadi monster yang menghantui saya setiap saat. Saya sama sekali tidak bisa mencintainya Bu. Meskipun sebutir zarrah. Ibu kan juga seorang perempuan. Saya mohon ibu bisa memaklumi." Zahrana menjawab panjang lebar dengan mengajak bicara dari hati ke hati. "Kalau masalahnya sudah cinta. Tak ada orang di muka bumi ini yang bisa memaksa. Meskipun saya kecewa saya tetap menginginkan yang terbaik untukmu. Sejak mengenalmu aku tahu kau orang baik. Begini Zahrana, saya lihat gelagat Pak Karman berniat memecatmu dengan satu tuduhan serius yang akan sangat mempermalukanmu. Ia mengisyaratkan hal itu kemarin setelah membaca suratmu. Sekadar saran dariku lebih baik kau mundur dengan terhormat daripada dipecat! Jika marah Pak Karman bisa lupa bumi di mana ia berpijak." "Apa Bu? Mundur?" Jawab Zahrana dengan nada kaget. "Iya Zahrana. Sebaiknya kau mengundurkan diri saja. Itu saranku sebagai orang yang sangat paham peta politik di kampus."
"Tidak Bu. Jika terjadi ketidakadilan, akan saya lawan sampai titik darah penghabisan!" "Zahrana, kamu ternyata tidak tahu benar peta politik kampus. Tidak tahu benar siapa Pak Karman. Jika kau nekat itu ibarat ulo marani gitik. Ibarat ular mendekat untuk dipukul sampai mati. Mundurlah dulu. Bertiaraplah sementara waktu. Ini yang kulihat baik untukmu. Saya berjanji suatu saat nanti jika saya ada kemampuan, kamu akan saya tarik lagi ke kampus. Kali ini percayalah padaku. Saya tidak rela orang sebaik kamu jadi bulan-bulanan kesewenang-wenangan yang sudah saya cium dari sekarang." Zahrana akhirnya paham dengan apa yang disampaikan Bu Merlin. Dari nada dan tuturkata yang disampaikan ia melihat ada kesungguhan dan ketulusan. Namun ia belum bisa mengambil sikap dengan cepat. Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah, "Baiklah Bu. Saya mengerti. Akan saya pikirkan matang-matang saran Ibu. Saya sangat berterima kasih." "Saya harap begitu. Kalau begitu saya pamit dulu. Masih ada urusan yang harus saya kerjakan." Kata Bu Merlin.
* * *
Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan rasa sayang padanya, meskipun ia telah mengecewakannya. Bu Merlin juga tetap setia pada prinsip hidupnya: Memaksimalkan manfaat meminimalisir konflik. Jika masih ada jalan menghindari konflik, maka jalan itulah yang harus ditempuh. Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling akrab sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. la perlu orang yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya. "Apa sejahat itu Pak Karman?" tanya Lina pada Zahrana.
"Aku tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang jelas apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar saran Bu Merlin." "Yang paling penting menurutku adalah, apa kaupercaya dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?" Zahrana menjawab dengan memandang lekat-lekat teman karibnya itu, "Sampai saat ini saya belum pernah dibohongi Bu Merlin. Saya percaya padanya."
"Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu sedang sangat tersinggung dan marah besar karena kamu tolak. Dia merasa tidak nyaman berada satu atap denganmu di kampus. Dan Bu Merlin melihat dia akan membuat perhitungan denganmu." "Jadi?" "Kalau aku jadi kau, aku memilih mengundurkan diri dengan baik-baik, daripada dipecat dengan membawa nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat posisinya daripada kamu. Ingat dia orang nomor satu di Fakultas tempat kamu mengajar." "Aku tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa yang harus aku katakan pada ayah dan ibu?" "Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru. Dengan begitu kau bisa berdalih degan seribu alas an yang menyejukkan mereka. Bisa kaukatakan tidak kerasan lagi di kampus. Cari pengalaman baru dan lain sebagainya." Akhirnya ia mantap untuk mengundurkan diri. "Kau benar Lin. Besok aku akan mengundurkan diri." "Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu." "Kau memang sahabatku yang baik Lin."
***
Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan membawa dua pucuk surat pengunduran dirinya. Satu untuk rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang rapat dengan rektor. Itu kesempatan baginya untuk mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya sesama dosen banyak yang kaget. "Kami tahu dari Ibu Merlin bahwa kamu menolak lamaran Pak Karman. Apa karena itu terus kamu juga harus mundur dari kampus?" tanya Pak Didik, dosen mata kuliah struktur beton yang meja kerjanya paling dekat dengannya. "Saya hanya ingin cari suasana baru dan pengalaman baru. Mungkin saya akan mencoba kerja di sebuah perusahaan." Jawab Zahrana sekenanya sambil merapikan berkas-berkasnya. "Apa ini benar-benar sudah keputusan final?" "Ya. Final." "Kami tak berhak menahanmu. Meskipun kami sangat kehilangan kamu jika kamu keluar. Tidak banyak pengajar yang seahli kamu. Jika nanti kamu ingin kembali ke kampus ini jangan segan-segan. Kami para dosen akan men-support-mu." "Terima kasih Pak Didik. Maafkan saya jika selama ini banyak berbuat salah." "Sama-sama." Setelah barang-barangnya rapi. la meletakkan surat pengunduran dirinya di meja kerja Pak Karman. Lalu mencari mahasiswi yang bisa membantunya mengangkat barang. Di koridor ia bertemu dengan mahasiswi berjilbab hitam.
"Nina!"
"Ya Bu Rana."
"Bisa bantu saya sebentar?"
"Bisa Bu."
"Kalau begitu cari tiga teman, dan segera ke ruang
kerja saya. Saya minta bantuannya sedikit."
"Baik Bu."
Ia lalu balik ke ruang kerjanya.
"Pak Didik?"
"Ya Bu Rana."
"Saya minta tolong, surat pengunduran ini disampaikan ke Pak Rektor begitu saya pergi. Data-data saya di komputer ini nanti diselamatkan ya Pak. Trus saya minta tolong dicarikan taksi."
"O bisa Bu."
Lima menit kemudian tiga orang mahasiswi berjilbab, dan dua orang mahasiswa datang. Kepada mereka Zahrana menjelaskan bahwa dirinya akan mengundurkan diri dari kampus itu. "Kenapa Bu?" tanya Nina, mahasiswinya yang aktif di Lembaga Pers Kampus. "Tidak apa-apa. Hanya ingin cari suasana baru saja." "Tidak karena tekanan seseorang kan Bu?" Tanya mahasiswa berbaju biru tua kotak-kotak. "Tidak. Ini murni keinginan Ibu. Mana ada yang berani menekan Ibu tho San." Jawab Zahrana pada mahasiswa bernama Hasan. "Kalau ibu mundur, skripsi saya bagaimana Bu?" tanya mahasiswa itu lagi. "O tenang San. Nanti kamu menghubungi Bu Merlin dan Pak Didik ya. Mereka akan membantumu, insya Allah." "Saya masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun ibu tidak di kampus ini lagi?" "Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke rumah ibu kapan saja." Kata Zahrana sambil memandang wajah mahasiswanya satu per satu. Zahrana lalu meminta mereka mengangkat barangbarangnya ke luar gedung. Tak lama taksi datang. Zahrana pun meninggalkan kampus itu dengan membawa seluruh barang-barangnya. Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya: tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi pelajaran!" Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk di kursinya ia menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya seketika meluap, "Kurang ajar!" Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO lawan, tibatiba malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak memperhitungkan Zahrana akan membuat keputusan nekat itu. Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan satusatunya dosen Fakultas Teknik yang masih gadis itu.
* * *
Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan pekerjaan baru. Dari seorang teman ia mendapatkan informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen, Demak, sedang membutuhkan seorang guru baru yang profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al Fatah berada di payung Yayasan Pesantran Al Fatah. Pesantren besar yang terkenal di Mranggen. Ia mengajukan lamaran dan hari itu juga ia diterima. Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri Pesantren Al Fatah sangat senang. Pengalaman mengajar Zahrana ketika mengajar di FT universitas swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas. Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang sebagian besar adalah santri. Ia berusaha mendalami kultur dan budaya santri. Sebab sejak kecil ia belum pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan nuansa yang berbeda antara mengajar santri dan mengajar mahasiswa. Ada tantangan tersendiri mengajar santri yang masih banyak menganggap ilmu eksak tidak penting, yang menganggap "ilmu umum" lainnya juga tidak penting. Dianggap tidak penting, karena para santri berpikiran bahwa ilmu eksak dan "ilmu umum", kelak tidak akan ditanyakan di akhirat. Bagi mereka, yang terpenting adalah "ilmu agama", karena ilmu itulah yang akan dibawa hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu diluruskan. Dan Zahrana tertantang untuk meluruskannya. la merasa mengajar di lingkungan pesantren lebih menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat dengan banyak ulama? Atau karena memang di pesantren tempat ia mengajar tidak ada manusia seperti Pak Karman yang dalam pandangannya sangat-sangat durjana. Hari-harinya ia lalui dengan lebih tenang dan tenteram. Ilmu S.2-nya ia rasa tidak benar-benar hilang tanpa guna. Sebab ia juga diterima sebagai konsultan sebuah perusahaan properti. Ia juga masih sering didatangi mahasiswanya. Yang masih sering datang adalah mahasiswanya yang bernama Hasan. Tugas Akhir Hasan memang di bawah bimbingannya. Namun setelah ia keluar, tugas pembimbingan diambil alih oleh Bu Merlin. Hasan dan teman-temannya masih suka datang untuk konsultasi dan meminjam referensi. Ia merasa senang dengan kedatangan mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya sendiri. Suatu siang ayahnya bertanya, mengapa ia meninggalkan kampus dan memilih mengajar di STM Al Fatah yang gajinya jauh lebih kecil. Ia menjawab, "Ingin mencari ketenangan dengan dekat kiai dan para santri." Ayahnya hanya mendesah tanda tidak setuju. Namun ia kemudian berusaha menghibur, "Yang kedua Yah, Zahrana berharap mengajar di lingkungan pesantren jadi jalan bagi Zahrana menemukan jodoh Zahrana. Bertahun-tahun di kampus jodoh yang Zahrana harap tidak juga datang." Wajah ayahnya itu sedikit cerah, "Semoga harapanmu terkabul. Kalau perlu kamu harus berani minta tolong pada Pak Kiai. Siapa tahu beliau bisa membantu menemukan jodohmu." "Iya Yah. Mohon doanya terus."
"Tanpa kamu minta pun kami terus mendoakanmu
siang dan malam, Anakku."
"Terima kasih Ayah."
***
Malam itu setelah memeriksa tugas-tugas anak didiknya Zahrana membuka komputer. Ia hendak berselancar di dunia maya internet. Ia ingin melihat apakah ada email yang masuk. Apakah ada berita yang menarik. Dan ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan membuat blog ia bisa menemukan jodohnya. Baru saja menyalakan komputer hp-nya berdering beberapa kali. Ada tiga SMS yang masuk. Ia membukanya:
"Sedang apa perawan tua?"
"Ternyata jadi perawan tua itu indah."
"Jangan-jangan jilbabmu itu kedok untuk menutupi
daging tuamu yang sudah busuk di kerubung lalat!"
Zahrana tersentak dan geram. Sebuah teror. Teror paling primitif, dengan kata-kata yang merendahkan dan menyakitkan. la periksa nomornya. Nomor yang tidak ia kenal. la nyaris membalas SMS itu dengan kata-kata yang sama pedasnya. Tapi ia urungkan. Ia sudah bisa menduga kira-kira dan mana SMS itu berasal. Akhirnya ia memilih diam. Diam tanpa pernah menganggap SMS itu ada. Ia merasa diam adalah senjata paling ampuh. Menanggapi omongan orang gila berarti ikut jadi gila.
Menanggapi sikap orang dungu berarti ikut jadi dungu. Internetnya sudah konek. Lima email dari teman-temannya sesama dosen. Semuanya menyayangkan keputusannya meninggalkan kampus. Dan semuanya mendoakan semoga sukses dengan pilihannya. Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka,
"Apa kabar Perawan Tua?"
"Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya.
Banggalah jadi perawan tua!"
Ia meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya sakit. Tapi ia harus menang. Diam adalah senjata pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang terdidik itu. Akhirnya, ia matikan hp-nya. Ia memilih asyik berselancar di dunia maya. Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email. Yang satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya
untuk ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi bertanya ada apa dengan Pak Didik. Baru kali ini Pak
Didik mengirim email kepadanya. la buka email itu:
Subjeknya: SEBUAH TAWARAN, JIKA BERKENAN.
Baru dikirim beberapa jam yang lalu.
la lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran. Tawaran apa yang dimaksud Pak Didik, yang celananyaselalu di atas mata kaki itu?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu. Amin. Sebelumnya mohon maaf jika email saya ini mengganggu. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengirim email ini tapi terhambat karena beberapa sebab. Hari ini saya merasa hari yang tepat saya mengirim email ini untuk memberikan sebuah tawaran
kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya sampaikan lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara lisan takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan bisa diedit sementara bahasa lisan tidak.
Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang Ibu. Juga apa yang Ibu cari selama ini saya memberanikan diri mengajukan diri. Mengajukan diri untuk menjadi suami ibu. Maaf, to the point saja Bu. Saya menawarkan kepada ibu, sekali lagi maaf jika dianggap lancang, untuk menjadi isteri kedua saya. Saya yakin isteri saya bisa menerimanya nanti. Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang
sebenarnya yang saya harapkan adalah seorang isteri yang educated dan cerdas seperti Bu Zahrana. Bukan yang bisanya cuma arisan seperti isteri saya saat ini. Tapi karena sudah punya dua anak, tidak mungkin saya meninggalkan dia. Saya yakin dengan kita membina rumah tangga bersama, kita bisa bersinergi. Kita bisa saling memberi dan memaksimalkan potensi. Ini harapan saya. Semoga ibu berkenan dengan harapan ini. Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah kata motion maaf. Tawaran saya ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali saya tidak bermaksud seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberi manfaat. Itu saja. Akhirul kalam,
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Hormat saya,
Didik Hamdani, M.T.
Zahrana membaca email itu dengan tubuh bergetar, mata berkaca-kaca. la tidak tahu apa yang ia rasakan. Yang jelas bukan bahagia. Ia merasa betapa tidak mudah menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan betapa susah menjadi wanita. Jika Pak Didik itu tidak memiliki isteri, katakanlah
duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus
dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega pada perasaan yang akan dialami isteri Pak Didik. Dan ia juga tidak tega pada perasaan kedua orangtuanya. Mereka semua tidak siap untuk itu. Bahkan jika mau jujur, ia sendiri "belum siap", atau lebih tegasnya "tidak siap" menjadi isteri kedua. Sakit rasanya. Bagaimanapun ia adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan Jawa pada umumnya, yang benar-benar "tidak siap", atau lebih tepatnya "tidak mau" dijadikan istri kedua. Atau "tidak mau" dimadu.
la membayangkan, alangkah tersiksanya, misalnya, bila ia menerima tawaran Pak Didik itu, ternyata isterinya tidak setuju. Isterinya itu lantas melabraknya dan mengatakan kepadanya,
"Hai perawan tua tengik, memang di dunia ini sudah tidak ada lelaki sehingga kamu tega merampas suami
orang! Dasar perawan tua! Suka merusak pager ayu orang saja!" Ia tidak tahu akan menjawab apa. Maka begitu ia selesai membaca email itu, yang ia lakukan adalah men-delete-nya tanpa me-reply sama sekali. Ia menganggap email itu tak pernah ada.
Matanya masih berkaca-kaca.
* * *
Bersambung...