Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama: Pengantin pria hendaknya
meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya.
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً
أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا (وَلْيُسَمِّ اللهَ
عَزَّ وَجَلَّ) وَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ، وَلْيَقُلْ: اَللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ،
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
.
“Apabila salah seorang dari kamu
menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya
lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya
mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya
yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat
yang ia bawa.’” [1]
Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).
1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku
mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin
Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah رضي الله عنهم. Lalu tibalah waktu
shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka
berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata:
‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami
mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka
mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian
berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu
itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya
terserah kamu berdua…!’”[2]
2. Hadits dari Abu Waail.
Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه,
lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia
membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal
dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci
apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka
perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu
ucapkanlah (berdo’alah):
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِي فِي أَهْلِيْ،
وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ، اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِي مِنْهُمْ، وَارْزُقْهُمْ
مِنِّي، اَللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ إِلَى خَيْرٍ،
وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ
.
“Ya Allah, berikanlah keberkahan
kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya
Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki
kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua)
dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” [3]
Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.
Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti
Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias
‘Aisyah untuk Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Setelah itu saya datangi
dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah.
Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah
صلی الله عليه وسلم disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas
itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya
dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan
berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah صلی الله
عليه وسلم!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya
sedikit.” [4]
Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:
بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ
مَا رَزَقْتَنَا
.
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah,
jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan
Engkau karuniakan kepada kami.”
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
“Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan
antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya
selama-lamanya.” [5]
Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang
bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu
sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan
sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah :
223]
Ibnu ‘Abbas رضى الله عنهما berkata,
“Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab رضي الله عنه datang kepada
Rasulullah صلی الله عليه وسلم, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah,
celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar
menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau صلی
الله عليه وسلم tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat
kepada beliau:
“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai…” [Al-Baqarah : 223]
Lalu Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ، وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ
.
“Setubuhilah isterimu dari arah depan
atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau
menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh”. [7]
Juga berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم:
…
مُقْبِلَةٌ مُدْبِرَةٌ إِذَا كَانَتْ فِي الْفَرْجِ
.
“Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya”.[8]
Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja
• Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia
tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab
dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan
kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi
jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ
.
“Jika seseorang diantara kalian
menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia
berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]
• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi
terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi’
radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi صلی الله عليه وسلم pernah menggilir
isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan
rumah fulanah. Abu Rafi’ berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak
dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.
هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَرُ
.
“Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]
• Seorang suami dibolehkan jima’
(mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang,
atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang
mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan
riwayat bahwasanya Rasulullah صلی الله عليه وسلم melihat wanita yang
mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab
radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau
melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau
bersabda,
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِيْ
صُوْرَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِيْ صُوْرَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ
أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا
فِيْ نَفْسِهِ
.
“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam
rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. [11] Maka, apabila
seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan),
hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat
menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]
Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “
Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak
agar segera mendatangi isterinya – atau budak perempuan yang dimilikinya
-kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya
menjadi tenang.” [13]
Akan tetapi, ketahuilah saudara yang
budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits
tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.
Allah Ta’ala berfirman:
““Katakanlah kepada laki-laki yang
beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]
Dari Abu Buraidah, dari ayahnya رضي الله عنه, ia berkata, “Rasulullah صلی الله عليه وسلم ber-sabda kepada ‘Ali.
يَا عَلِيُّ، لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ اْلأُوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَةُ
.
“Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti
satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang
kedua bukan untukmu”. [14]
• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Artinya : Dan mereka menanyakan
kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang
kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah
kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah
mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan diri.”
[Al-Baqarah : 222]
Juga sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم:
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا: فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
.
“Barangsiapa yang menggauli isterinya
yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi
dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada
Muhammad صلی الله عليه وسلم.” [16]
Juga sabda beliau صلی الله عليه وسلم:
مَلْعُوْنٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا
.
“Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]
• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan
oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum
suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas
Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits
Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه dari Nabi صلی الله عليه وسلم tentang orang
yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi صلی الله عليه وسلم
bersabda.
يَتَصَدَّقَ بِدِيْنَارٍ أَوْ نِصْفِ دِيْنَارٍ
.
“Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]
• Apabila seorang suami ingin bercumbu
dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain
pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه
وسلم.
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاح
.
“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima’/ bersetubuh).” [19]
• Apabila suami atau isteri ingin makan
atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya
dan berwudhu’ terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini
berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda,
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ
جُنُبٌ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ
أَوْ يَشْرَبَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ
.
“Apabila beliau hendak tidur dalam
keadaan junub, maka beliau berwudhu’ seperti wudhu’ untuk shalat. Dan
apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau
mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ
وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ
.
“Apabila Nabi صلی الله عليه وسلم hendak
tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’
(seperti wudhu’) untuk shalat.” [21]
• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.
• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.
Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang
mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah صلی الله
عليه وسلم adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada
seorang pendusta. [22]
• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.
Setiap suami maupun isteri dilarang
menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini
dilarang oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Bahkan, orang yang
menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek
kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ
اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ
وَتُفْضِى إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
.
“Sesungguhnya manusia yang paling jelek
kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan
isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia
menyebarkan rahasia isterinya.” [23]
Dalam hadits lain yang shahih,
disebutkan bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, “Jangan kalian
lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti
syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu
ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa
membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib
kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang
isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya
kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:
“Artinya : “Maka perempuan-perempuan
yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri
ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).”
[An-Nisaa' : 34]
Nabi صلی الله عليه وسلم mengabarkan
bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari
Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita
yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia
pasangannya”. [25]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa
Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember
2006]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah
(no. 1918), al-Hakim (II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi
(VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr رضى الله عنهما. Lihat Adabuz Zifaf
(hal. 92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no.
30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz
Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423
H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458).
Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus
Salam, th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283,
5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092),
ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun
Nisaa’ (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan
lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas رضى الله عنهما.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin
al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah
belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi
isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan.
Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia
menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil
Hadiits (II/209))
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam
‘Isyratun Nisaa’ (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60),
at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no.
4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam
Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi
berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil
Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan
lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah رضى الله عنهما. Lihat al-Insyirah fii
Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri رضي الله عنه.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i
dalam Isyratun Nisaa’ (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan
Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi
(no. 1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330,
341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin
‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah
(I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi
(no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408,
476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 130,
131), dari Sahabat Abu Hurairah رضي الله عنه.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan
dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah
al-Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i
(I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172),
dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi.
Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no.
257), dari Shahabat Anas bin Malik رضي الله عنه. Lihat Adabuz Zifaf
(hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139),
Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah
radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan
Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no.
306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul
Jaami’ (no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437),
Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada
kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama
‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan
an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.”
Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142).
Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang
melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457).
[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212).
Sumber : http://evisyari.wordpress.com/2009/04/10/malam-pertama-dan-adab-bersenggama-2/