“Tidak ada pedang, setajam pedang Zulfikar dan tidak ada pemuda yang setangguh Ali bin Abu Thalib”
Demikianlah slogan yang selalu didengung-dengungkan oleh kaum muslimin ketika perang Uhud yang amat dahsyat itu tengah berlangsung.
Nama lengkap beliau, Ali bin Abi Thalib bin Abdi Manaf bin Abdul
Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin
Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah
atau biasa disebut
‘Alī bin Abī Thālib (
Arab:
علي بن أﺑﻲ طالب,
Persia:
علی پسر ابو طالب). Ia lahir sekitar 13
Rajab 23 Pra Hijriah/
599 dan wafat 21
Ramadan 40 Hijriah/
661 M. Beliau bernama asli
Haydar bin
Abu Thalib. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga
Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan
Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW memanggil dengan
Ali
yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah). Ibu beliau bernama
Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay, ibunya
digelari Wanita Bani Hasyim pertama yang melahirkan seorang putera Bani
Hasyim. Beliau memiliki beberapa orang saudara laki-laki; Thalib, Aqiel
dan Ja’far. Mereka semua lebih tua dari beliau, masing-masing terpaut
sepuluh tahun. Beliau memiliki dua orang saudara perempuan; Ummu Hani’
dan Jumanah. Keduanya adalah puteri Fathimah binti Asad, ia telah masuk
Islam dan turut berhijrah. Ayah beliau bernama Abu Thalib, paman
Rasulullah SAW.
Beliau memiliki kulit berwarna sawo matang, bola mata beliau besar
dan berwarna kemerah-merahan, berperut besar dan berkepala botak.
Berperawakan pendek dan berjanggut lebat. Dada dan kedua pundak beliau
padat dan putih, beliau memiliki bulu dada dan bahu yang lebat, berwajah
tampan dan memiliki gigi yang bagus, ringan langkah saat berjalan.
Ia memiliki julukan Abu Turab dari Nabi Muhammad SAW. Ceritanya,
ketika Muhammad SAW mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur.
Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya.
Melihat itu Muhammad SAW pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali
sambil berkata, “Duduklah wahai Abu Turab, duduklah.” Turab yang berarti
debu atau
tanah dalam
bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.
Kehidupan Dalam Islam
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, Ali adalah lelaki pertama
yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah
Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung
dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat
dengan Nabi SAW hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi
SAW. Didikan langsung dari Nabi SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu
Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior)
atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas,
berani dan bijak.
Pada saat Nabi SAW dan Abu Bakar hijrah, Ali bersedia tidur di kamar Nabi SAW untuk mengelabui orang-orang
Quraisy
yang akan menggagalkan hijrah Nabi SAW. Beliau tidur menampakkan kesan
Nabi SAW yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka
mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh
Nabi SAW yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama
Abu Bakar.
Dalam Perang
Ali bin Abi Thalib di kenal sebagai jagoan bangsa Arab yang mempunyai
kemahiran memainkan pedang dengan tangguh. Sementara itu, baju besi
yang dimilikinya berbentuk tubuh bagian depan di kedua sisi, dan tidak
ada bagian belakangnya. Ketika di tanya,”Mengapa baju besimu itu tidak
dibuatkan bagian belakangnya, Hai Abu Husein?” Maka Ali bin Abu Thalib
akan menjawabnya dengan mudah,”Kalau seandainya aku menghadapi musuhku
dari belakang, niscaya aku akan binasa.”
Ia ikut serta bertempur dalam perang Badar, perang pertama dalam
sejarah Islam. Sebelum pertempuran dimulai, keluarlah tiga orang dari
Musyrikin Quraisy menantang kaum Muslimin untuk duel satu lawan satu,
mereka adalah Utbah bin Rabi’ah dan saudaranya Syaibah, serta Al-Walid
bin Utbah. Maka keluarlah tiga orang Anshar untuk menghadapi mereka.
Tapi ketiga Musyrikin itu menolak dan meminta dari kalangan mereka
sajalah yang berhak menghadapi mereka yaitu dari kaum Muhajirin Quraisy.
Maka keluarlah tiga pahlawan muhajirin yaitu Ali bin Abi Thalib,
Hamzah, serta Ubaidah bin Al-Harist. Maka dengan mudah Ali membunuh
Syaibah, Hamzah membunuh Utbah, dan Ubaidah dan A-Walid saling melukai
sampai kemudian Ali dan Hamzah membunuh Al-Walid.
Setelah melihat ketiga jagoan mereka takluk ditangan pahlawan Islam,
menjadi kalaplah pasukan Musyrikin. Kaum muslimin memperoleh kemenangan
yang telak, maka korban yang berjatuhan di pihak kaum Quraisy berjumlah
tujuh puluh orang. Konon sepertiga korban yang tewas dari pihak kaum
Quraisy pada perang badar itu merupakan persembahan khusus dari Ali bin
Abu Thalib dan
Hamzah bin Abdul Muthalib.
Pada perang Uhud, Ali bin Abu Thalib memperlihatkan ketangguhannya
sebagai seorang pahlawan Islam yang gagah perkasa. Pada saat itu beliau
tergabung dalam sayap kanan pasukan yang memegang panji setelah Mush’ab
bin Umair.
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib
ketika memerangi Amru bin Wud Al ‘Amiri, seorang jawara yang tangguh
dari kaum kafir Quraisy yang ikut serta dalam perang Khandak. Dengan
angkuhnya ia menari-nari di atas kudanya sambil memainkan pedangnya dan
mengejek kaum muslimin seraya berkata,”Hai kaum muslimin, manakah surga
yang telah dijanjikan kepadamu bahwa orang yang gugur diantaramu akan
masuk kedalamnya? Inilah dia surga yang kini berada di hadapan-mu, maka
sambutlah.”
Namun nyatanya tak ada seorangpun dari kaum muslimin yang berani maju
untuk menjawab tantangan yang dilontarkan Amru bin Wud , yang terkenal
bengis dan kejam itu. Tak lama kemudian Ali bin Abu Thalib pun berdiri
dan berkata kepada Rasulullah,” Ya Rasulullah, kalau Anda mengijinkan,
maka saya akan maju untuk bertarung melawannya” Rasulullah menjawab,”Hai
Ali, Bukankah dia itu Amru bin Wud, jagoan kaum Quraisy yang ganas
itu?” Ali bin Abu Thalib pun menjawab,”Ya, Saya tahu dia itu adalah Amru
bin Wud, akan tetapi bukankah ia juga manusia seperti kita?” Akhirnya
Rasulullah mengijinkan untuk bertarung melawannya.
Selang beberapa saat kemudian, Ali bin Abu Thalib telah maju ke
gelanggang pertarungan untuk bertarung melawan Amru bin Wud. Lalu Amru
bertanya seraya memandang remeh kepadanya,”Siapakah kamu hai anak
muda?”, “Aku adalah Ali.” Amru bin Wud bertanya lagi,”Kamu anak Abdul
Manaf?”, “Bukan, Aku anak Abu Thalib.” Lalu Amru bin Wud berkata,”Kamu
jangan maju ke sini hai anak saudaraku! Kamu masih kecil. Aku hanya
menginginkan orang yang lebih tua darimu, karena aku pantang menumpahkan
darahmu.” Ali bin Abu Thalib menjawab,”Jangan sombong dulu hai Amru!
Aku akan buktikan bahwa aku dapat merobohkan-mu hanya dalam beberapa
detik saja dan aku tidak segan-segan untuk menghantarkanmu ke liang
kubur.”
Betapa marahnya Amru bin Wud mendengar jawaban Ali bin Abu Thalib
itu. Lalu ia turun dari kuda dan dihunusnya pedang miliknya itu ke arah
Ali bin Abu Thalib. Sementara itu Ali bin Abu Thalib menghadapinya
dengan tameng di tangan kirinya.
Tiba-tiba Amru bin Wud melancarkan serangannya dengan pedang. Dan Ali
pun menangkis serangan itu dengan menggunakan tamengnya yang terbuat
dari kulit binatang sehingga pedang Amru tertancap di tameng itu. Maka
secepat kilat Ali menghantamkan dengan keras pedang Zulfikar pada
tengkuknya hingga ia tersungkur ke tanah dan bersimbah darah, dan kaum
kafir Quraisy lainnya yang melihat itu lari tunggang langgang.
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian
antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati
perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan
di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang
Khaibar. Rasulullah SAW mengutus pasukan kaum muslim di bawah pimpinan
Abu Bakar As Siddiq
untuk menembus benteng itu. Lalu pasukan tersebut berangkat. Dengan
mengerahkan segala daya kekuatan mereka berusaha membobol benteng
tersebut, namun pintu benteng tersebut sangat kokoh sehingga sukar untuk
ditembusnya.
Keesokkan harinya, Rasulullah mengutus
Umar bin Khattab untuk
memimpin pasukan untuk menaklukkan benteng tersebut. Dengan semangat
yang berkobar-kobar akhirnya terjadilah peperangan yang dahsyat antara
dua pasukan bersenjata itu. Umar terus membangkitkan semangat anak
buahnya agar dapat menguasai benteng khaibar, namun upaya mereka belum
membuahkan hasil meskipun telah berusaha sekuat tenaga dan mereka pun
pulang dengan tangan hampa.
Setelah itu Rasulullah SAW bersabda,”Esok hari aku akan berikan
bendera ini kepada seorang laki-laki yang dicintai Allah dan Rasulnya.
Dan mudah-mudahan Allah akan membukakan pintu kemenangan bagi kaum
muslimin melalui kedua tangannya, sedangkan ia sendiri bukan termasuk
seorang pengecut.” Maka para sahabat bertanya-tanya “Siapakah laki-laki
yang beruntung itu?” Akhirnya setiap orang dari para sahabat itu berdoa
dan memohon kepada Allah agar dialah yang di maksud oleh Rasulullah.
Dan keesokkan harinya Rasulullah ternyata menyerahkan bendera
kepemimpinan itu kepada Ali bin Abu Thalib yang sedang menderita
penyakit mata. Kemudian Rasulullah meludahi kedua belah matanya yang
sedang sakit hingga sembuh seraya berkata,”Hai Ali, terimalah bendera
perang ini dan bawalah pasukan kaum muslimin bersamamu menuju benteng
Khaibar hingga Allah membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin.”
Lalu Ali bin Abu Thalib memimpin pasukan dan memusatkan pasukannya
pada sebuah batu karang besar dekat benteng guna menghimpun kekuatan
kembali. Tak lama kemudian ia memberikan komando untuk bersiap-siap
menyerbu ke benteng dan akhirnya terjadilah perang yang sengit antara
kaum muslimin dengan orang-orang yahudi di sana.
Ali bin Abu Thalib memainkan pedang Zulfikar-nya dengan gesit dan
menghunuskan kepada musuhnya yang berani menghadang. Tidak ada musuh pun
yang selamat dari kelebatan pedang yang di genggam Ali. Akan tetapi
seorang yahudi tiba-tiba menghantamkan pedang kearahnya dengan keras.
Secepat kilat di tangkis serangan itu dengan tamengnya, hingga terjatuh
tamengnya itu. Akhirnya ia raih sebuah pintu besar yang terbuat dari
besi yang berada di sekitar benteng dan dijadikan-nya sebagai tameng
dari serangan pedang orang-orang yahudi lainnya. Dan ia tetap
menggunakan pintu besar itu hingga perang usai dan kaum muslimin
memperoleh kemenangan.
Abu Rofi’ seorang sahabat yang ikut perang itu menyatakan,”Aku telah
menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ali bin Abu Thalib
mencabut pintu besi yang besar itu untuk dijadikan tameng-nya, Setelah
tameng-nya terjatuh dari tangannya.” Kemudian setelah perang usai, ada
delapan orang laki-laki, salah seorang diantaranya adalah aku sendiri,
yang berusaha untuk menggotong dan menempatkan kembali pintu besi itu ke
tempat semula, tetapi mereka tidak mampu untuk melakukannya karena
terlalu berat.”
Pada perang Hunain,
Ali bin Abi Thalib dibantu pamannya
Abbas
mengumpulkan kembali pasukan yang melarikan diri, dan organisasi kaum
Muslimin mulai terbentuk kembali. Hal ini juga dibantu dengan sempitnya
medan pertempuran, yang menguntungkan kaum Muslimin sebagai pihak
bertahan. Pada saat ini, seorang pembawa bendera dari kaum Badui
menantang
pertarungan
satu-lawan-satu. Ali menerima tantangan ini dan berhasil
mengalahkannya. Pertempuran ini mendemonstrasikan keahlian Ali bin Abi
Thalib dalam mengorganisir pasukan dalam keadaan terjepit.
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili Nabi
Muhammad SAW untuk menjaga kota
Madinah.
Rasulullah SAW memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas
wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq
untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin
perang Tabuk. Kehadiran Ali di Mekkah, meski seorang diri, telah
berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut,
mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.
Pemikir
Ali bin Abi Thalib adalah pribadi yang sangat cerdas. Itu ditunjukkan sejak masa Rasulullah SAW.
Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, berapakah kecepatan
kilat tatkala menyambar. Dengan cepat ia menjawab, ” Tidak lebih cepat
dari doa seorang makhluk yang dikabulkan oleh Khaliknya.”
Dan ketika ditanya, ”Berapa jauhkah jarak antara Masyrik dengan Magrib, atau antara Timur dengan Barat?”
”Tidak lebih jauh dari jarak terbit dan tenggelamnya matahari. ”jawab Ali bin Abi Thalib.
”Kapankah nikmatnya tidur?” tanya yang lain pula.
”Tak ada nikmatnya, ”Ali langsung menjawab. ” Sebab bila kujawab
sebelum tidur, bagaimana dapat merasakan nikmatnya tidur kalau belum
melakukannya atau mengalaminya. Jika kujawab setelah bangun dari tidur,
bagaimana akan dapat kugambarkan sesuatu yang sudah lewat? Sedangkan
jika kujawab saat dalam tidur, bagaimana mungkin seseorang dalam keadaan
tidur atau tidak sadar merasakan nikmat atau tidaknya sesuatu? Karena
itu janganlah terlalu banyak tidur hingga berlebih-lebihan, sebab
hidupmu akan pendek, meski umurmu cukup panjang. Bukankah orang yang
dapat merasakan dirinya hidup adalah saat mereka dalam keadaan sadar?
Sedangkan, tidur sama dengan tidak sadar. Jadi bagaimana bisa dikatakan
hidup, kalau bukan orang lain yang mengatakannya?”
Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW menyuruh para sahabat membaca
Al-Quran sampai khatam (tamat). Semua dengan tekun mengerjakannya,
hingga beberapa lama. Tapi anehnya Ali bin Abi Thalib cuma komat-kamit
sebentar lalu berhenti dan diam.
Ketika semuanya sudah selesai, Nabi SAW bertanya kepada Ali bin Abi Thalib.
”Kenapa engkau tidak membaca sampai khatam?”
”Sudah sejak tadi, ya Rasulullah, ”jawab Ali.
”Cepat sekali? Rasanya mustahil, ”Sanggah Nabi SAW.
”Bukankah engkau pernah mengatakan, bahwa kandungaan surat Al-Ikhlas
atau Kulhu itu sama dengan sepertiga isi Al-Quran?”jawab Ali.
”Benar, ”timpal Rasulullah SAW.
”Karena itu cukup membaca surat Al-Ikhlas tiga kali, itu sama dengan
mengkhatamkan Al-Quran, ”Sambung Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW pun
tersenyum mendengar jawaban Ali bin Abi Thalib.
Setelah Rasulullah SAW wafat, perubahan drastis ditunjukkan Ali. Ia
lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada
murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain,
yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya
menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi
oleh kata-kata Rasulullah SAW, “jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali
adalah pintu gerbangnya”. Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena).
Dengan kecerdasannya, Ali banyak membantu para khalifah pendahulunya.
Diriwayatkan bahwa seorang utusan datang dari negeri Roma ke Madinah
pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Di antara mereka terdapat seorang
pastor Nasrani. Pastor itu datang ke masjid Rasulullah Saw sambil
membawa kantong yang berisi emas dan perak. Di dalam masjid itu dijumpai
ada Khalifah Abu Bakar dan beberapa sahabat dari Anshar dan Muhajirin.
Pastor itu masuk dan mengucapkan salam serta melihat dengan seksama
wajah para sahabat. Lalu dia berkata, “Mana di antara kalian yang
menjadi khalifah Rasulullah dan penjaga agama kalian ?” Lalu ditunjuklah
Khalifah Abu Bakar. Lalu Pastor itu mendekati Khalifah Abu Bakar dan
berkata, “Wahai tuan, siapa namamu?” Khalifah Abu Bakar menjawab, “Atiq.
” Pastor bertanya, “Kemudian apa lagi ?” Khalifah Abu Bakar menjawab,
“Shiddiq.” Pastor bertanya, “Kemudian apa lagi ?” Khalifah Abu Bakar
menjawab, “Aku tidak mengetahui nama selain itu. ” Pastor berkata, “Anda
bukan yang aku tuju.” Khalifah Abu Bakar bertanya, “Apa keperluanmu ?”
Pastor menjawab, “Aku dari negeri Roma. Aku datang membawa kantung
berisi emas dan perak. Aku ingin bertanya kepada penjaga umat ini
tentang beberapa masalah. Jika dia dapat menjawab maka aku akan masuk
Islam dan mentaati perintahnya. Dan ini hartaku di hadapan kalian aku
berikan. tetapi jika dia tidak mampu menjawabnya maka aku akan kembali
dan tidak akan masuk Islam. ” Khalifah Abu Bakar berkata, “Bertanyalah
sesukamu. ” Pastor berkata, “Demi Allah. Aku tidak akan berbicara
sebelum Anda memberiku keamanan dari kemarahanmu dan kemarahan
teman-temanmu.” Khalifah Abu Bakar berkata, “Kamu aman dan tidak
apa-apa. Katakanlah apa yang kamu ingin-kan !” Pastor berkata,
“Beritahukan kepadaku ten tang sesuatu yang tidak Allah miliki, sesuatu
yang tidak ada pada Allah dan sesuatu yang tidak diketahui Allah. ”
Khalifah Abu Bakar gemetar dan tidak mampu menjawab. Kemudian pastor itu
bangun hendak ke luar. Sebelum pastor itu berlalu, Khalifah Abu Bakar
berkata, “Wahai musuh Allah, sekiranya tidak ada janji tadi, niscaya aku
basahi tanah ini dengan darahmu.” Kemudian Salman al-Farisi bangun dan
pergi menjumpai Ali bin Abi Thalib yang tengah duduk bersama al-Hasan
dan al-Husain di tengah rumah. Salman menceritakan kejadian yang baru
saja terjadi kepada Ali. Lalu Ali bin Abi Thalib bangun dan pergi ber
sama al-Hasan dan al-Husain sehingga sampai di masjid. Ketika
orang-orang melihat Ali mereka bertakbir dan bertahmid. Mereka segera
mendekati Ali. Lalu Ali masuk dan duduk. Kemudian Khalifah Abu Bakar
berkata, “Wahai pastor, bertanyalah kepadanya. Dialah temanmu dan yang
kamu cari. ” Kemudian pastor itu menghadap Ali dan berkata, “Wahai
lelaki, siapa namamu?” Ali menjawab, “Namaku dikalangan Yahudi adalah
Ilyan dan dikalangan Nasrani adalah Iliya. Sedangkan menurut ayahku
namaku adalah Ali dan menurut ibuku adalah Haidar. ” Pastor bertanya,
“Apa hubunganmu dengan nabimu?” Ali menjawab, “Dia adalah saudaraku,
mertuaku dan Putra pamanku. ” Pastor herkata, “Kamu adalah temanku demi
Tuhannya Isa. Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang tidak dimiliki
Allah, sesuatu yang tidak ada pada Allah dan sesuatu yang tidak
diketahui Allah ?” Ali menjawab, “Kamu telah menemui seorang ahli. Yang
tidak dimiliki Allah adalah bahwa Allah Mahaesa, tidak memiliki pasangan
dan anak. Yang tidak ada pada Allah adalah perbuatan zhalim terhadap
siapa pun (apa pun). Dan yang tidak diketahui Allah adalah Allah tidak
mengetahui adanya sekutu bagiNya dalam kerajaan-Nya. ” Pastor itu bangun
lalu memegang kepala Ali dan menciumi antara kedua matanya, seraya
berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, Muhammad adalah
utusan Allah dan engkau adalah pengganti dan penjaga umat ini. Engkau
adalah sumber agama dan hikmah. Aku telah membaca dalam Taurat namamu
adalah Ilyan, dalam Injil adalah Iliya. Aku yakin bahwa kamu adalah
pewaris Nabi dan pemimpin. Kamu lebih pantas di tempat ini dari yang
lain. Beritahukan kepadaku bagaimana keadaanmu clan keadaan kaummu ?”
Sayyidina All menjawab pertanyaan itu
dengan sebuah penjelasan. Lalu pastor itu bangun dan menyerahkan seluruh
hartanya kepada Sayyidina Ali, kemudian kembali ke kaumnya dalam
keadaan Muslim.
Kemudian dikala Umar bin Khattab memangku jabatan sebagai Amirul
Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi.
Mereka berkata kepada Khalifah,”Hai Khalifah Umar, anda adalah
pemegang kekuasaan sesudah Muhammad SAW dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami
hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat
memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam
merupakan agama yang benar dan Muhammad SAW benar-benar seorang Nabi.
Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama
Islam itu bathil dan Muhammad SAW bukan seorang Nabi.
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit,
apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai
pertanyaan-pertanyaannya.
“Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan
bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu
makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan
manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk
yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak
dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya! Beritahukan kepada kami apa
yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau!
Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok! Apakah
yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang meringkik? Apakah yang
dikatakan oleh katak diwaktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan
oleh keledai disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh
burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak, kemudian
berkata, “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas
pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan
suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi
yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata,
“Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad SAW memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah
Umar bin Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah
Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup
punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW.
Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat
duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkat,: “Ya Abal Hasan, tiap
ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang
menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Silahkan
kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW
sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu
mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka.
Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku ingin mengajukan
suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab
pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat,
kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya, “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada
Allah. Sebab semua hamba Allah, baik laki-laki ataupun wanita, jika ia
bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kehadirat
Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi, “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Anak kunci itu ialah kesaksian
(syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata, “Orang itu benar juga!”
Mereka bertanya lebih lanjut, “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera
Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh
samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi, “Jelaskan kepada
kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya,
tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman
AS putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, ‘Hai para
semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak
diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak
sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, “Beritahukan kepada
kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi,
tetapi tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari
kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam.
Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim.
Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar
jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu
mengatakan, “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasulullah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada
Ali bin Abi Thalib, “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh
sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama
Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada
anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman
dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh
Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab, “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah
para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh
Allah SWT kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka
itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut, “Aku sudah banyak mendengar tentang
Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan
nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja
mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua
kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut
kedepan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke
pinggang.
Lalu ia berkata, “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW
kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri
Romawi, disebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama
Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese).
Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse,
sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu
dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal
dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama
Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang
menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil
menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan,
lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai disitu, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus
bertanya, “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk
Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan, “Hai saudara Yahudi, raja itu
membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya
satu farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya
yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu
yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu
itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap
malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya.
Disebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus
buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai
terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun
membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40
hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat
dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Disebelah kirinya
juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para
pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas
singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai disitu pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata,
“Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah
mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “Mahkota raja itu
terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya
bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang
menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan,
terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan
baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera
berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat
indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus
berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang,
terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri
atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun
tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu
selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan
dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi, lalu berkata, “Hai Ali, jika
yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi
pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab, “Kekasihku Muhammad
Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri
disebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan
Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri,
masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu
berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh
semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan
menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi
wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari
bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang
membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu
terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu
berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap
serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat
sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi.
Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi
wewangian murni. Sambil berkecimpung didalamnya, burung itu
mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada
dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung
itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di
atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak
di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga
puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak
pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau
pun beringus.
Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai
congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan
tidak mau lagi mengakui adanya Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya.
Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai
macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak
bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu
semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama,
semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka
tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas
singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang
hulubalang memberi tahu, bahwa ada bala tentara asing masuk menyerbu
kedalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan
terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa
disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja
itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang
pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama
Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia
berpikir, lalu berkata di dalam hati, “Kalau Diqyanius itu benar-benar
tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak
tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah
sifat-sifat Tuhan.
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di
tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari
tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka
berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha
sendiri tidak ikut makan dan minum.
Teman-temannya bertanya, ‘Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?’
‘Teman-teman,’ sahut Tamlikha, ‘hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu
yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak
ingin tidur.’
Teman-temannya mengejar, ‘Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?’
‘Sudah lama aku memikirkan soal langit,’ ujar Tamlikha menjelaskan.
‘Aku lalu bertanya pada diriku sendiri,’siapakah yang mengangkatnya ke
atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan
dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias
langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga
bumi ini, ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?
Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah,
tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku
sendiri, ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku?
Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya
itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki
Tamlikha diciumi sambil berkata, ‘Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang
terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu,
baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!’
‘Saudara-saudara,’ jawab Tamlikha, ‘baik aku maupun kalian tidak
menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu,
pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi!’
‘Kami setuju dengan pendapatmu,’ sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma,
dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu
kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda
bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada
teman-temannya, ‘Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja
dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan
marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan
kita serta memberikan jalan keluar. Mereka turun dari kudanya
masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka
bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada
penggembala itu mereka bertanya,’Hai penggembala, apakah engkau
mempunyai air minum atau susu?’
‘Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,’ sahut penggembala itu.
‘Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku
menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku
bagaimana cerita perjalanan kalian itu!’
‘Ah…, susahnya orang ini,’ jawab mereka. ‘Kami sudah memeluk suatu
agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami
mengatakan yang sebenarnya?’ ‘Ya,’ jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada
diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk
lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata,
‘Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati
kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan
kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali
lagi kepada kalian.’
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera
pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama
kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing
miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya
melonjak berdiri lagi sambil berkata, “Hai Ali, jika engkau benar-benar
tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib, “Anjing itu berwarna
kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu
melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya,
kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia
kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja
dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di
atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan
lancar dan jelas sekali, ‘Hai orang-orang, mengapa kalian hendak
mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada
sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan
dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT.’
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala
tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati
sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat
duduknya sambil berkata, “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua
itu?”
Imam Ali menjelaskan, “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau disebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya, “Secara tiba-tiba di depan
gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali.
Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu.
Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang
anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil
menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa
mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua
Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah
lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan
sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam
supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia
bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa
mereka itu melarikan diri.
Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia
cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang
melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia
melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur
berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam
orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata, ‘Kalau aku hendak menghukum
mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan
mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah
tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!’
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup
rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai
dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya, “Katakanlah kepada
mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak
berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit,
agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.,
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT mengembalikan
lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar,
mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang
seorang berkata kepada yang lainnya, ‘Malam tadi kami lupa beribadah
kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!’
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air
itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi
kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka
saling bertanya, ‘Siapakah diantara kita ini yang sanggup dan bersedia
berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi
yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai
membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.’
Tamlikha kemudian berkata, ‘Hai saudara-saudara, aku sajalah yang
berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah
bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!’
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke
kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum
pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui.
Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di
angkasa bertuliskan, ‘Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh
Allah.’
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap
mata, lalu berkata seorang diri, ‘Kusangka aku ini masih tidur!’ Setelah
agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan
perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil.
Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di
sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti, ‘Hai tukang roti,
apakah nama kota kalian ini?’ ‘Aphesus,’ sahut penjual roti itu.
‘Siapakah nama raja kalian?’ tanya Tamlikha lagi. ‘Abdurrahman,’ jawab penjual roti.
‘Kalau yang kau katakan itu benar,’ kata Tamlikha, ‘urusanku ini
sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!’
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang
dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan
lebih berat.”
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata
kepada Ali bin Abi Thalib, “Hai Ali, kalau benar-benar engkau
mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding
dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan, “Uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding
dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua
pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya, “Penjual Roti lalu berkata
kepada Tamlikha, ‘Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru
menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak,
engkau akan ku hadapkan kepada raja!’
‘Aku tidak menemukan harta karun,’ sangkal Tamlikha. ‘Uang ini ku
dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga
dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya
menyembah Diqyanius!’
Penjual roti itu marah. Lalu berkata, ‘Apakah setelah engkau
menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu
kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka
yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari
300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok
aku?’
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja
yang baru ini seorang yang dapat berpikir dan bersikap adil. Raja
bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, ‘Bagaimana cerita
tentang orang ini?’ ‘Dia menemukan harta karun,’ jawab orang-orang yang
membawanya.
Kepada Tamlikha, Raja berkata, ‘Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS
memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun
itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau
akan selamat.’
Tamlikha menjawab, ‘Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!’
Raja bertanya sambil keheran-heranan, ‘Engkau penduduk kota ini?’ ‘Ya. Benar,’ sahut Tamlikha.
‘Adakah orang yang kau kenal?’ tanya raja lagi. ‘Ya, ada,’ jawab Tamlikha.
‘Coba sebutkan siapa namanya,’ perintah raja. Tamlikha menyebut
nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang
dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka
berkata. ‘Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita
sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?’
‘Ya, tuanku,’ jawab Tamlikha. ‘Utuslah seorang menyertai aku!’
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi.
Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di
kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang
mengantarkan, ‘Inilah rumahku!’
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah
sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian
putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia
terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang,
‘Kalian ada perlu apa?’
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut, ‘Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!’
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya, ‘Siapa namamu?’ ‘Aku Tamlikha anak Filistin!’
Tulang Belulang Ashabul Kahfi yang ditemukan Tahun 1963.
Orang tua itu lalu berkata, ‘Coba ulangi lagi!’ Tamlikha menyebut
lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki
Tamlikha sambil berucap. ‘Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah
seorang diantara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja
durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru, ‘Ia lari berlindung
kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS,
dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan
bahwa mereka itu akan hidup kembali!’
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan
kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat
Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat
Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke
atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan
kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya, ‘Hai Tamlikha, bagaimana keadaan
teman-temanmu?’
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana.
Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua
orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa
Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
“Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu.
Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan
para pengikut mereka, ‘Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar
suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga
Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian
berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan
memberitahu mereka!’
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua.
Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan
Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, ‘Puji dan
syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!’
Tamlikha menukas, ‘Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?’
‘Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,’ jawab mereka.
‘Tidak!’ sangkal Tamlikha. ‘Kalian sudah tinggal di sini selama 309
tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi
sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada
Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan
kalian!’
Teman-teman Tamlikha menyahut, ‘Hai Tamlikha, apakah engkau hendak
menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?’
‘Lantas apa yang kalian inginkan?’ Tamlikha balik bertanya.
‘Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu
juga,’ jawab mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas,
kemudian berdoa, ‘Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan
kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini,
cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!’
Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat
maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu
gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju
mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari
pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan
masuk lainnya ke dalam gua.
Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa
hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua
peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang
diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata, ‘Mereka mati dalam
keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu
gua itu.’
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, ‘Mereka mati
dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua
itu.’
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian
senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang
beragama Islam.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah
para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang
menanyakan kisah itu, “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam
kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah
semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam
Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab, “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah
dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan
menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta
Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu
di kalangan umat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi),
kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha’ilul
Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy
Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang
diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul SAW.
Berikut 40 pertanyaan yang pernah dijawab Ali bin Abi Thalib:
1- Bilangan berapakah yang dapat dibagi 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9?
Imam Ali dalam keadaan menunggang kuda segera menjawab: “Kalikanlah
hari-hari tahun dengan hari-hari minggu” ketika itu beliau as
mengendalikan kudanya dan pergi.
Penjelasan ucapan Imam Ali as: Jika 360 (yang pada waktu itu
masyhurnya adalah hari-hari tahun berjumlah 360) kita kalikan 7
(hari-hari minggu), maka hasil pengaliannya akan berjumlah 2520, yakni:
360 x 7 = 2520
Bilangan tersebut dapat dibagi 2 karena bilangan genap. Dapat dibagi 3
karena jumlah angka-angkanya akan berlipat 9 sementara bilangan 9 dapat
dibagi 3, maka 2520 juga dapat dibagi 4 karena 20 yang adalah dua angka
sebelah kanan bilangan dapat dibagi 4. Maka bilangan ini dapat dibagi 4
dan oleh karena bilangan ini diakhiri dengan 0 maka dapat juga dibagi 5
dan karena dapat dibagi 2 dan 3, maka dapt juga dibagi 6 dan karena
bilangan tersebut adalah hasil pengkalian 360 x 7 maka dapat dibagi 7
dan karena tiga angka sebelah kanannya dapat dibagi 8, maka bilangan ini
menerima pembagian angka 8 dan karena jumlah angka-angka ini adalah
bilangan 9 maka dapat juga dibagi 9 dan karena diakhiri dengan 0 maka
dapat dibagi 10.
2- Siapakah orang yang melihat pada malam dan siang hari?
Amirul Mukminin Ali as dalam menjawab pertanyaan “Ibnu Kawwa’”
berkata: Bertanyalah tentang hal yang bermanfaat bagimu dan janganlah
engkau tanyakan pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang tidak banyak
berfaedah. [Dari sebagian pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada
Imam Ali as ini juga menunjukkan kemazluman ilmiah dan kultural beliau
as, bagaimana lautan ilmu tersebut tertimpa musibah orang-orang seperti
ini yang tidak menanyakan hal-hal bersifat ilmiah,
permasalahan-permasalahan serius dan menyelesaikan problema selain
teka-teki dan soal-soal yang ketinggalan zaman]
Imam Ali dengan terpaksa [mungkin dengan maksud seperti ini bahwa
agar mereka tidak mengatakan beliau as tidak mampu menjawab soal
tersebut] berkata: Yang melihat pada malam dan siang hari adalah seorang
yang beriman kepada para nabi-nabi terdahulu dan semasa dengan Nabi
Islam saw serta menerima agama beliau saw [wujud nyata ucapan beliau as
adalah “Sharamah bin Abi Anas”] dan yang melihat pada siang hari adalah
seorang yang tidak beriman kepada para nabi terdahulu, semasa dengan
Nabi Islam saw dan beriman kepada beliau saw [yang mayoritas sahabat dan
kaum Muslimin permulaan Islam adalah wujud nyatanya] dan yang melihat
pada malam hari dan buta pada siang hari adalah seorang beriman kepada
para nabi sebelumnya akan tetapi tidak menerima agama Islam [yang di
antara wujud nyatanya adalah Umayyah bin Shalt].
3- Putera manakah yang lebih besar dari ayahnya?
Beliau as menjawab: Ia adalah Uzair yang dihidupkan oleh Allah swt dan ia berusia 40 tahun sementara puteranya 110 tahun.
Keterangan: Ketika Uzair dengan kehendak Allah swt memejamkan mata
untuk selamanya, ia berusia 40 tahun sementara puteranya ketika itu
berusia 10 tahun dan setelah 100 tahun, Allah swt menghidupkannya
kembali yang mana Uzair ketika itu sedikitpun tidak berbeda dari sisi
jasmani dan raut muka dan berlalunya waktu tidak mempengaruhi badannya;
oleh karena itu dari sisi dhahir puteranya lebih tua dan berusia 110
tahun akan tetapi sang ayahmenampakkan usia 40 tahun.
4- Berapakah ukuran diameter matahari?
Imam Ali as berkata: 900 mil dalam 900 mil.
Keterangan ucapan Imam Ali as: Jelas bahwa mil dalam Islam adalah
4000 dhira’[i](kubik). Jika ukuran dhira’ tangan normal kita bandingkan
dengan inci dan kita ganti 4000 dhira’ dengan inci dan setelah itu kita
rubah dengan yard dan mil (dengan istilah Eropa) maka kita akan lihat
810.000 mil Islam sama dengan ukuran yang dikatakan oleh para ahli dalam
bidang orbit yaitu diameter matahari sama dengan 865.380 mil ukuran
Eropa dan 1760 yard.
5- Dua bersaudara manakah yang terlahir dalam satu hari dan
meninggal dunia pada hari yang sama akan tetapi usia salah satunya 50
tahun dan yang lain 150 tahun?!
Dalam menjawab pertanyaan ini Imam Ali as berkata: “Uzair dan
saudaranya, Azrah” atau Aziz yang lahir pada hari yang sama dan Uzair
meninggal dunia pada usia 100 sementara ketika ia kembali dihidupkan
saudaranya sangat tua renta, namun ia masih berusia 50 tahun.
Catatan: Di dalam beberapa riwayat terjadi perbedaan pendapat apakah
Uzair mengalami hal yang sangat menakjubkan ini pada usia 40 tahun atau
pada 50 tahun? Yang tentu saja mana yang benar tidaklah penting dan yang
menjadi kesepakatan umum dan ditegaskan oleh al-Quran adalah ia
meninggal selama 100 tahun dan setelah itu dihidupkan kembali.
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu
negeri yang (temboknya) Telah roboh menutupi atapnya. dia berkata:
“Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri Ini setelah hancur?” Maka
Allah mematikan orang itu seratus tahun, Kemudian menghidupkannya
kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” ia
menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah
berfirman: “Sebenarnya kamu Telah tinggal di sini seratus tahun lamanya;
Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan
Lihatlah kepada keledai kamu (yang Telah menjadi tulang belulang); kami
akan menjadikan kamu tanda kekuasaan kami bagi manusia; dan Lihatlah
kepada tulang belulang keledai itu, Kemudian kami menyusunnya kembali,
Kemudian kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala Telah nyata
kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang Telah mati) diapun berkata:
“Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[ii]
6- Keadilan lebih baik atau kedermawanan?
Imam Ali as dalam menjawab pertanyaan ini berkata: “Keadilan”
menempatkan hal-hal pada tempatnya, sementara kedermawanan mengambilnya
keluar dari arah-arahnya; keadilan adalah pengurus umum sedang
kedermawanan adalah manfaat khusus., maka keadilan lebih utama di antara
keduanya.
7- Manakah tempat yang tidak memiliki kiblat?
Di dalam Ka’bah.
8- Manakah tempat terbaik dan paling suci yang shalat di atas atapnya tidak dianjurkan?
Ka’bah.
9- Apakah yang lebih besar dari langit?
Tuduhan terhadap orang yang tidak berdosa.
10- Apakah yang lebih luas dari bumi?
Kebenaran.
11- Apakah yang lebih dingin dari zamharir (dingin yang luar biasa)?
Kebutuhan seorang kepada orang yang bakhil.
12- Apakah yang lebih kaya dari laut?
Perut yang qana’ah (merasa cukup dengan hal yang sedikit).
13- Apakah yang lebih keras dari batu?
Hati orang kafir.
14- Apakah yang selalu berkurang akan tetapi tidak dapat bertambah?
Umur manusia.
15- Apakah yang selalu bertambah akan tetapi tidak berkurang?
Air laut.
16- Apakah yang selalu bertambah dan berkurang?
Bulatan dan cahaya bulan.
17- Apakah yang dari setiap penjurunya adalah mulut?
Api.
18- Apakah yang seluruhnya adalah “kaki”?
Air.
19- Apakah yang seluruhnya adalah “mata”?
Matahari.
20- Apakah yang sama dengan buah-buahan surga?
Al-Quran (karena setiap kali kita memanfaatkannya dan menggunakannya,
ia tidak akan berkurang dan selalu memberikan kenikmatan kepada manusia
dan senantiasa baru dan segar)
21- Siapakah orang yang tidak mengharapkan surga Allah swt?
Orang yang tergolong dari auliya’ (wali-wali) Allah swt yang beribadah kepada Allah swt tanpa mengharap surga dan takut neraka.
22- Apakah yang seluruhnya adalah “sayap”?
Angin.
23- Apakah yang tidak memiliki ruh akan tetapi menghembuskan nafas?
Subuh
“Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing” [QS. At-Takwir (81): 18]
24- Siapakah yang di dalam shalatnya tidak rukuk dan sujud?
Seorang yang sedang mendirikan “shalat mayit”.
25- Siapakah yang mencintai “fitnah”?
Seorang yang mencintai harta benda dan anak-anaknya. (Sebagaimana
diungkapkan dalam surat al-Anfal (8) ayat 28 mengenai mereka hal
tersebut sebagai “fitnah atau ujian dan cobaan” dan bukan maksud artinya
yang masyhur (kerusakan), dan Imam Ali as memperkenalkan orang tersebut
dari kalangan wali-wali Allah swt.
26- Siapakah yang mendirikan shalat tanpa wudhu dan shalatnya sah?
Orang yang mendirikan shalat mayit.
27- Siapakah yang tidak berayah dan terlahir dengan mukjizat?
Nabi Isa as.
28- Siapakah orang yang tidak memiliki sanak keluarga sama sekali?
Nabi Adam as.
29- Pohon apakah yang pertama kali tumbuh di muka bumi?
Pohon kurma (Nabi Adam as membawa pohon kurma tersebut dari surga).
30- Apakah sumber air pertama bumi?
Sumber air kehidupan (Nabi Khidhir as meminum darinya dan memperoleh kehidupan kekal).
31- Apakah tiga hal yang tidak ada empatnya?
Talaq (karena dalam Islam seorang wanita tidak dapat ditalaq atau
cerai lebih dari tiga kali secara beruntun dan setelah kali ketiga tidak
dapat menikah dengan wanita tersebut kecuali wanita tersebut menikah
dengan laki-laki lain dan ketika ditalaq maka wanita itu dapat menikah
dengan suami sebelumnya).
32- Apakah yang pada masa hidupnya minum dan matinya makan?
Tongkat nabi Musa as (ketika masih berbentuk ranting di atas pohon
minum atau menyerap air dan ketika menjadi tongkat nabi Musa as melahap
atau makan ular-ular para tukang sihir istana Fir’aun).
33- Apakah perbedaan kebenaran dan kebatilan?
Empat jari (ditanyakan kepada Imam Ali as, apakah arti ucapan ini?
Imam Ali as menyodorkan jari-jari dan mengangkatnya kemudian
meletakkannya di antara telinga dan mata, kemudian berkata: Kebatilan
adalah yang engkau katakan aku telah mendengar dan kebenaran adalah yang
engkau katakan aku telah melihat).
34- Bagaimanakah rasa air?
Seperti rasa kehidupan.
35- Siapakah orang berakal?
Orang yang berakal adalah yang meletakkan segala sesuatu pada tempatya…
36- Bagaimana Allah swt akan menghakimi hamba-hamba-Nya yang banyak ini?
Sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada mereka semua.
37- Kapankah yang tidak termasuk siang dan malam hari?
Satu jam sebelum matahari terbit.
38- Daratan manakah yang disinari oleh matahari hanya sekejap?
Daratan yang muncul sekejap di sungai Nil (di Mesir) dan kaum nabi Musa as melaluinya.
39- Siapakah yang memakan bangkai?
Orang yang memakan ikan dan belalang.
40- Siapakah yang memakan darah (pemakan darah)?
Orang yang memakan hati.
Sebagai khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah
Utsman bin Affan
mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah
membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu
menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi
Zubair bin Awwam dan
Talhah bin Ubaidillah
memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai’at mereka.
Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai’at secara massal, karena
khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Peristiwa pembunuhan Khalifah
Utsman bin Affan
yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan
karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan
terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan
diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman
Utsman bin Affan,
menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan
perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan
terjadi hingga akhir pemerintahannya.
Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang
militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi
negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan
sebelumya.
Ia ditikam oleh
Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan
Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid
Kufah, pada tanggal
19 Ramadhan 661 M.
Di detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan
“Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin
khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” yang
artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan
mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski
sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”
Beliau sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga
umat muslim. Di antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau
silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran
Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan
ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan
hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.
Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal
21 Ramadhan tahun 40
Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di
Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Keluarga
Istri pertama yang dinikahi Ali adalah Fathimah binti Rasulullah SAW.
Ia berkumpul dengannya setelah pulang dari peperangan Badar. Beliau
memperoleh dua orang putera, al-Hasan dan al-Husain. Ada yang mengatakan
putera ketiga beliau bernama Muhasin, namun meninggal dunia saat masih
bayi. Beliau memperoleh dua orang puteri, yaitu Zainab al-Kubra dan Ummu
Kaltsum al-Kubra yang kemudian dinikahi oleh Umar bin al-Khaththab .
Ali tidak menikahi wanita lain di samping Fathimah hingga ia wafat enam
bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Setelah Fathimah wafat, Ali
menikahi beberapa wanita, diantara istri-istrinya ada yang wafat pada
saat beliau masih hidup, ada yang beliau ceraikan dan ketika wafat
beliau meninggalkan empat istri.
* Di antara istri-istri beliau.
* Ummul Banin binti Hizam. Hizam adalah Abul Muhill bin Khalid bin
Rabi’ah bin al-Wahid bin Ka’ab bin Amir bin Kilab. Dari Ummul Banin
beliau memperoleh empat orang putera, al-Abbas, Ja’far, Abdullah dan
Utsman. Mereka semua terbunuh bersama saudara mereka, yakni al-Husein,
di padang Karbala. Tidak ada generasi penerus keturunan ini kecuali
al-Abbas.
* Laila binti Mas’ud bin Khalid bin Malik dari Bani Tamim. Dari
Laila beliau memperoleh dua orang putera, Ubaidullah dan Abu Bakar.
Hisyam bin al-Kalbi berkata, “Keduanya juga terbunuh di padang Karbala.
Menurut al-Waqidi, Ubaidullah dibunuh oleh Mukhtar bin Abi Ubaid pada
peperangan al-Madzar.
* Asma’ binti ‘Umais al-Khats’amiyyah, darinya beliau memperoleh dua
orang putera: Yahya dan Muhammad al-Ashghar. Demikian dikatakan oleh
Ibnul Kalbi.
Al-Waqidi mengatakan, “Beliau memperoleh dua orang putera darinya,
Yahya dan ‘Aun, adapun Muhammad al-Ashghar berasal dari ummul walad
(budak wanita).”
* Ummu Habib32 binti Rabi’ah bin Bujair bin al-Abdi bin
‘Alqamah, ia adalah ummu walad (budak wanita) dari tawanan yang ditawan
oleh Khalid bin Walid dari Bani Taghlib ketika ia menyerbu wilayah
‘Ainut Tamr. Darinya beliau memperoleh seorang putera bernama Umar -yang
diberi umur panjang 85 tahun- dan seorang puteri bernama Ruqayyah.
* Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud bin Mu’attib bin Malik ats-
Tsaqafi, darinya beliau memperoleh dua orang puteri, Ummul Hasan dan
Ramlah al-Kubra.
* Binti Umru’ul Qais bin Ady bin Aus bin Jabir bin Ka’ab bin Ulaim
bin Kalb al-Kalbiyah. Darinya beliau memperoleh seorang puteri. Suatu
ketika Ali membawanya saat ia masih kecil ke masjid, ditanyakan
kepadanya, “Siapakah bibimu?” Ia menjawab, “Hugh, hugh!” Maksudnya Bani
Kalb.
* Umamah binti Abil Ash bin ar-Rabi’ bin Abdil Uzza bin Abdi Syams
bin Abdi Manaf bin Qushay, ibunya adalah Zainab binti Rasulullah SAW,
dialah yang digendong oleh Rasulullah SAW dalam shalat, saat bangkit
beliau menggendongnya dan saat sujud beliau meletakkannya. Darinya Ali
memperoleh seorang putera bernama Muhammad al-Ausath.
* Khaulah binti Ja’far bin Qais bin Maslamah bin Ubaid bin Tsa’lab
bin Yarbu’ bin Tsa’labah. Ia ditawan oleh Khalid bin Walid pada masa
kekha-lifahan Abu Bakar ash-Shiddiq pada peperangan melawan kaum murtad.
Ia berasal dari Bani Hanifah. Kemudian ia diserahkan kepada Ali bin Abi
Thalib. Dari Khaulah ini Ali memperoleh seorang putera bernama Muhammad
al-Akbar (lebih dikenal dengan sebutan Muhammad bin al-Hanafiyah). Di
antara kaum Syi’ah ada yang menganggap beliau sebagai imam yang ma’shum.
Ia memang termasuk tokoh kaum muslimin, namun bukanlah ma’shum, ayahnya
juga tidak ma’shum bahkan orang yang lebih utama dari ayahnya, yaitu
Khulafa’ur Rasyidin sebelum beliau, juga tidak ma’shum, wallahu a’lam.
Ali bin Abi Thalib memiliki banyak anak keturunan lainnya dari
sejumlah ummu walad (budak wanita). Saat wafat beliau meninggalkan empat
istri dan sembilan belas budak wanita. Di antara putera puteri beliau
yang tidak diketahui nama ibunya adalah: Ummu Hani’, Maimunah, Zainab
ash-Shughra, Ramlah ash-Shughra, Ummu Kaltsum ash-Shughra, Fathimah,
Umamah, Khadijah, Ummul Kiram, Ummu Ja’far, Ummu Salamah, Jumanah dan
Nafisah.
Ibnu Jarir berkata, “Jumlah keseluruhan anak kandung beliau adalah empat belas orang putera dan tujuh belas orang puteri.”
Al-Waqidi berkata, “Generasi penerus Ali ada lima; al-Hasan,
al-Husain, Muhammad bin al-Hanafiyah, al-Abbas al-Kilabiyah dan Umar bin
at-Taghlibiyah.”
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau
Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam
Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan
Sayyed
berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka
dihormati oleh Sunni dan Syi’ah. Keturunan Ali sendiri dikenal dengan
Alawiyin atau
Alawiyah.
Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib:
"Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak boleh mencari sahabat dan
orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg
telah dicari"
"Orang yang terlalu memikirkan akibat dari sesuatu keputusan atau
tindakan, sampai bila-bilapun dia tidak akan menjadi orang yang berani."
"Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat."
"Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang
adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka
keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang,
maka seluruh permasalahan akan rusak."
"Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak mau mencari sahabat dan
orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg
telah dicari."
"Perkataan sahabat yg jujur lebih besar harganya daripada harta benda yg diwarisi darinenek moyang."
"Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya"
"Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau
menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu
kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan."
Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai
dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar
penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai
dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya.
Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi
penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena
mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari
Penampakan di Media
Ali juga muncul di drama “Omar” dengan pemeran Ghanem Alzerla, seorang pemuda Tunisia. Juga ada beberapa gambarnya di situs-situs internet, contohnya adalah di atas dan sebagai berikut:
Tidak ada keterangan pasti tentang siapa yang telah melukisnya dan
apakah gambar ini merupakan deskripsi tepat dari seorang Ali bin Abi
Thalib.
Sumber : http://nessiaprincess.wordpress.com/2012/08/23/